Wednesday, June 20, 2012
Empat Orang Pandai dan Seekor Harimau Benggala
Alkisah, di Benggala, yang
terletak di dekat sungai Gangga di India, hiduplah empat pria Brahmana yang
pandai dan bijak. Mereka sudah saling mengenal seumur hidup mereka, sehingga ke
mana pun, mereka selalu pergi bersama. Meski begitu, tingkat kepandaian dan
kearifan empat pria ini berbeda-beda.
Benggala, selain dikenal akan
warisan kearifan leluhur dan keindahan alam serta hutan-hutannya, memiliki
harimau Benggala, makhluk yang cantik namun buas dan kuat.
Suatu hari, empat orang pandai
ini memutuskan untuk mengabdikan kepandaian yang mereka miliki kepada sang
raja. Maka, mereka berjalan kaki bersama-sama menuju kota. Sambil berjalan,
mereka sibuk membicarakan rencana mereka kelak.
“Sudah pasti, sang raja ingin
kita melayani beliau bersama-sama, karena kita berempat sama-sama pandai dan
bijak,” ujar orang pandai pertama.
“Pastinya begitu. Nanti, saat
kita sudah resmi dijadikan penasihat raja, sebaiknya kita membagi uang yang
kita dapat dari raja secara merata,” sahut orang pandai kedua.
Namun, orang pandai ketiga
menggelengkan kepalanya. “Ah, aku tidak setuju! Sebenarnya, hanya kita bertiga
yang merupakan orang pandai sejati.” Setelah mengucapkan kalimat itu, mereka
bertiga menoleh ke arah teman mereka, orang pandai keempat, yang berjalan
paling belakang. Memang, orang pandai keempat ini tak sepandai teman-temannya,
tetapi ia memiliki talenta tersendiri, yaitu akal sehat.
Orang pandai keempat menyadari
ketiga temannya tengah menyindirnya. Ia mengangguk ke arah mereka. “Aku setuju
bahwa aku tidak sepandai kalian. Tetapi, akal sehat yang aku miliki sama
pentingnya bagi raja. Bukankah begitu?”
Orang pandai pertama
menggelengkan kepalanya. “Engkau adalah orang yang bijak, itu betul, tetapi
tidak begitu terpelajar seperti kami karena engkau tidak membaca buku sebanyak
kami.”
“Aku sudah belajar cukup banyak
dari hidup ini,” debat orang pandai keempat.
“Tetapi, sudah berapa banyak buku
yang engkau baca?” salah seorang temannya bertanya.
Orang pandai pertama, kedua, dan
ketiga lantas mulai menghitung jumlah buku-buku yang sudah mereka pelajari.
“Wah, jumlahnya sudah mencapai ratusan buku,” kata mereka dengan bangga.
“Engkau tidak punya pengetahuan sebesar kami.”
“Akal sehatku sudah merupakan
anugerah yang bagus,” orang pandai keempat berusaha menyakinkan teman-temannya.
“Akal sehat tak ada gunanya!”
tukas orang pandai pertama. “Kelak, di istana raja, kita akan menghadapi
masalah-masalah yang pelik untuk dipecahkan.”
“Pengetahuan besar yang kami
miliki bisa membantu sang raja merancang peperangan hebat, mengatur penataan
kota, mengelola kerajaannya, dan yang terpenting, mengambil keputusan,” ujar
orang pandai kedua.
“Sayang sekali, engkau tidak
belajar sebanyak kami,” kata orang pandai ketiga sambil menggelengkan
kepalanya.
Akhirnya, orang pandai keempat
terdiam. Ia merenungkan perkataan teman-temannnya. Jangan-jangan mereka benar,
pikirnya. Mungkin, seharusnya ia membaca lebih banyak buku. Mungkin, seharusnya
ia belajar terus siang dan malam, seperti yang selalu dilakukan teman-temannya.
Ia pun mulai meragukan akal sehat yang ia miliki – apakah akal memang ada
gunanya atau tidak.
“Sepertinya kalian benar,” ujar
orang pandai keempat akhirnya, sambil mengembus napas panjang. Karena mereka
bercakap-cakap sambil terus berjalan, kini di
kejauhan, ia sudah bisa melihat kota yang hendak mereka tuju. Ia mulai
bertanya-tanya, apakah sebaiknya ia berbalik dan pulang saja ke rumah.
Tepat ketika orang pandai keempat
hendak memanggil teman-temannya, rombongan itu menemukan tulang-belulang hewan
yang tergeletak berserakan di satu sisi jalan.
Sepasang mata orang pandai
pertama langsung bersinar-sinar. “Nah, sekarang engkau bisa melihat betapa
pentingnya kepandaian itu!” serunya dengan riang. “Aku, dengan pengetahuan yang
kumiliki, bisa menyusun tulang-tulang makhluk ini menjadi susunan kerangka yang
tepat.”
Orang pandai kedua tak mau kalah.
“Benar, engkau memang bisa melakukan itu,” katanya, “tetapi, jauh lebih penting
dari itu, aku bisa menumbuhkan daging pada kerangka tulang makhluk ini.”
Orang pandai ketiga ikut maju ke
depan. “Ah, kalian berdua ini memang terpelajar, dan aku menghormati kepandaian
kalian, tetapi pengetahuan yang kumiliki adalah pengetahuan yang tertinggi,
karena aku bisa menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati ini.”
Mereka pun memutuskan untuk
membuktikan omongan mereka. sementara mereka mulai bekerja, orang pandai
keempat hanya terdiam sambil memperhatikan teman-temannya.
“Benar, kalian memang sangat
pandai karena bisa menyusun tulang-tulang ini menjadi makhluk hidup. Aku tidak
punya pengetahuan sebesar kalian,” ia mengaku. “Tetapi, aku tidak bodoh dan
bisa mengenali makhluk apa ini. Ini adalah harimau. Harimau yang sangat besar!
Aku mohon, kalian mempertimbangkan kembali apa yang sedang kalian lakukan.
Menghidupkan kembali harimau sebesar ini berbahaya bagi kita berempat!”
Ketiga temannya menoleh sekilas
padanya, lantas tertawa terbahak-bahak. “Dasar bodoh!” ejek mereka. “Kami sih
sama sekali tidak takut.”
“Baiklah,” ujar orang pandai
keempat, “terserah kalian saja. Tetapi jika kalian masih ingin pamer kepandaian
dengan menghidupkan makhluk buas ini, aku memilih untuk naik ke atas pohon
ini.” Setelah berkata demikian, ia pun langsung memanjat pohon di dekat mereka
secepat kilat, lantas duduk di cabang yang paling tinggi, jauh di atas
teman-temannya yang sibuk bekerja di bawah.
Orang pandai pertama
menyelesaikan bagiannya, dan dengan bangga ia mengumumkan : “Tulang-belulang
itu sudah tersusun! Apa kubilang, aku bisa melakukannya dengan sangat tepat.
Tak ada satu pun kesalahan!”
Orang pandai kedua tak mau kalah.
Ia menutupi setiap jengkal tulang itu dengan daging dan kulit yang cantik. Ia
pun membanggakan hasil karyanya.
Orang pandai ketiga melangkah
maju dengan pongah. “Sekarang semua harap diam, karena aku harus berkonsentrasi
penuh dalam tugas yang paling penting ini. Aku bisa menghidupkan makhluk ini
dengan pengetahuan yang kumiliki.”
Ia membungkukkan tubuh di atas
makhluk yang terdiam kaku itu, dan mulai mengucapkan mantra-mantra.
Setelah ia selesai, semua orang
pandai, yang berada di bawah maupun di atas pohon, menahan napas mereka dengan
tegang. Semenit, dua menit, makhluk itu masih tak bergerak.
Tapi kemudian, secara
perlahan-lahan, kehidupan mulai menjalari tubuh makhluk itu. Kini, harimau
Benggala yang besar itu berdiri tegak di atas keempat kakinya, meregangkan
otot-ototnya, dan menoleh ke tiga manusia di dekatnya. Ia menjilati mulut
dengan lidahnya yang besar, lantas, dengan auman keras, ia menerjang tiga pria
malang itu.
Dari tempatnya yang aman, jauh di
atas pohon, orang pandai keempat hanya bisa menatap kekacauan di bawah.
Teman-temannya pontang-panting berlarian menghindari serangan harimau buas itu.
“Kalian boleh pandai dan punya
pengetahuan besar,” katanya, “tetapi, pada akhirnya, akal sehatlah yang paling
penting!”
Sumber : Media Kawasan edisi Juni
2012 (Cerita Rakyat India, diadaptasi oleh Amy Friedman).
Labels:
Dhamma,
Mahayana,
wise stories
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Posts
-
Janganlah berbuat jahat Tanamlah sebanyak-banyaknya kebajikan Sucikan hati dan pikiran Itulah ajaran para Buddha Membunuh dan kar...
-
Pada suatu hari saat Sang Buddha berdiam di Anatapindika Jetavana Arama, pada waktu itu Ananda bertanya : Mengapa nasib /akibat Karma se...
-
Semasa hidup Sang Buddha, kota Savatthi merupakan ibukota kerajaan Kosala yang diperintah oleh Raja Pasenadi Kosala. Beliau, putra Maha ...
-
Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar mama dan papa berbicara tentang adik kecilnya, Georgi. Georgi sakit keras dan mereka...
-
Pada suatu hari di sebuah kota kecil di Taiwan, seorang supir taksi yang sedang dalam perjalanan pulang ketika dia mendengar suara menakutka...
-
FYI, trenggiling adalah binatang pemakan serangga, terutama semut dan rayap. Seorang pejabat Tiongkok beserta beberapa kolega, ketika...
-
Lanjut lagi jalan-jalan ke Belitung - Day 3 Dari hari pertama liatnya pantai dan laut, sekarang mari kita jelahahi pesona lain di Pulau B...
-
Sebuah Renungan Motivasi Sumber foto : http://wishesmessages.com/thank-you-messages-for-dad-thank-you-notes-for-father/ Pada detik-de...
-
Saya ingin berbagi cerita pendek yang menurut saya sungguh menyentil sanubari kita, terutama untuk orang Indonesia. Cerita ini saya dap...
-
Alkisah, di suatu daerah terpencil hiduplah seorang ibu & anak gadisnya yang tunggal. Ibu ini sangat bersyukur karena mempunyai an...
No comments:
Post a Comment
please leave your comment...^^