Pages

Friday, August 17, 2012

Sabda Hyang Buddha Tentang Sutra Ullambana

Pada suatu ketika, Hyang Buddha tinggal di Shravasti, di hutan Jeta di Taman Anathapindika. Di antara 10 siswa utama Hyang Buddha, terdapat Maha Maudgalyayana yang baru memiliki 6 macam kekuatan batin (Sad Abhijna). Beliau mengingat orang tuanya yang telah meninggal dunia dan berkeinginan membebaskan mereka dari kesengsaraan sebagai balas-budi atas jasa-jasa orang tuanya. Oleh karena itu, dengan menggunakan mata-batinnya, ia mengamati seluruh alam semesta dan melihat ibunya terlahir di antara setan-setan kelaparan. Karena ibunya terlalu lama tidak mendapatkan makanan dan minuman, maka hanya kulit yang membalut tulang di tubuhnya, sungguh menyedihkan! Melihat hal ini, timbul rasa kasihan dalam diri Maha Maudgalyayana. Beliau mengisi patranya dengan makanan dan memberikannya kepada sang ibu. Sang ibu menerimanya. Ia menutupi nasi tersebut dengan telapak tangan kirinya karena takut setan kelaparan lainnya merebut makanannya dan dengan tangan kanan mengambil segenggam makanan. Tetapi betapa malangnya, sebelum makanan masuk ke dalam mulutnya, makanan tersebut berubah menjadi arang yang membara dan ia pun tidak dapat memakannya. Kemudian api keluar dari mulutnya dan membakar tubuhnya hingga tewas. Melihat hal ini, Maha Maudgalyayana berteriak sekeras-kerasnya dan dengan sedih meneteskan air mata. Ia berpikir bahwa walaupun dirinya telah melatih diri dan telah mencapat tingkat kesucian, tetapi ia tidak mampu menyelamatkan ibunya dari alam setan kelaparan. Dengan keadaan ini, sebagai seorang anak ia merasa sedih dan tidak berdaya. Ia bergegas kembali ke tempat Hyang Buddha berada untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
                Maudgalyayana menceritakan apa yang terjadi pada ibunya kepada Hyang Buddha dan memohon Hyang Buddha menunjukkan jalan agar dapat menolong ibunya. Setelah mendengarkannya, Hyang Buddha berkata, “Karma buruk yang dimiliki oleh ibumu sangatlah berat dan telah berakar dalam. Dengan kekuatan kamu sendiri tidak akan mampu mengakhiri semua ini. Walaupun rasa baktimu mampu menggetarkan langit dan bumi, namun dewa bumi, dewa langit, penganut ajaran lain, para brahmana bahkan Raja adikuasa dari surga Catur Maharajika dan sebagainya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membantu.”
Saat Maudgalyayana sangat terpukul hatinya dan air matanya terus bercucuran tak henti-hentinya, Hyang Buddha bersabda, “Kekuatan spiritual perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru yang mengagumkan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kebebasan dari penderitaan ini. Sekarang akan Aku uraikan cara yang membawa keselamatan bagi semua dari penderitaan serta dapat memberantas semua rintangan karma.” Hyang Buddha bersabda kepada Maudgalyayana, “Bulan ke-7 hari ke-15 penanggalan lunar adalah Hari Pravarana Sangha atau disebut juga Hari Kebahagiaan Para Buddha, hari berakhirnya masa vassa bagi perkumpulan Sangha di sepuluh penjuru. Untuk kepentingan 7 generasi orang tua di kehidupan yang lampau, dan juga ayah dan ibu di kehidupan sekarang yang hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka engkau harus menyediakan dan mempersembahkan nasi dan bermacam-macam sayur-mayur, dupa, minyak, pelita, perlengkapan istirahat, dan semua barang terbaik untuk dipersembahkan kepada perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru. Pada hari itu, seluruh anggota Sangha baik yang sedang bermeditasi di gunung-gunung, yang telah mencapai tingkat kesucian yang ke-4, yang sedang berjalan di bawah pohon-pohon, atau yang telah memperoleh Sad Abhijna dan sedang menjalankan kewajiban mengajarkan Dharma luhur kepada para Sravaka atau para Pratyeka Buddha di berbagai daerah, Bodhisatva-Mahasatva yang berstatus Dasa-Bhumiya (Sepuluh Tingkat Bumi) dapat menjelmakan dirinya sebagai Bhiksu, Bhiksuni, dan berbaur di dalam Perkumpulan Sangha. Rombongan Arya tersebut datang ke tempat suci itu, bukan hanya berniat mengambil sedekah makanan atau sesajian belaka, tetapi mereka akan mempergunakan kewibawaan, kemampuan, dan kebajikan yang telah diperoleh dari perilaku Sila suci mereka. Jasa-jasa agung itu mereka limpahkan kepada para leluhur atau kedua orang tua dermawan baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Barang siapa yang mengadakan persembahan Sangha ini, maka kedua orang tuanya yang masih hidup dan leluhurnya yang telah meninggal dari 7 generasi di masa silam, dan juga 6 jenis kerabat dekatnya akan terlepas dari 3 Alam Samsara. Pada saat mereka dibebaskan, secara spontanitas mereka akan mendapatkan pakaian dan makanan. Jika orang tuanya masih hidup, mereka akan mendapatkan umur panjang dan tubuh yang sehat. Para leluhur dari 7 generasi di masa silam akan terlahir kembali di alam bahagia secara spontanitas, mereka akan bisa dengan bebas memasuki sinar mandarawa surga dan hidup dengan penuh kebahagiaan.”
Pada hari Pravarana Sangha dan upacara Ullambana yang diadakan oleh Maha Maudgalyayana, Hyang Buddha mengumumkan dan meminta para Bhiksu, Bhiksuni, dan para Sravaka Sangha yang berada di berbagai daerah agar semua berkumpul, guna mengadakan ritual pembacaan mantra serta pelimpahan jasa kepada orang tua para dermawan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal berserta 7 generasi leluhur di masa silam. Seusai meditasi barulah mereka menerima dana dan makanan beserta sajian lain yang sebelumnya diletakkan di altar Buddha di vihara atau pagoda atau dikelilingi pada Stupa Buddha. Setelah perkumpulan Sangha selesai membaca doa, mereka baru menerima dana tersebut.
Pada saat upacara Ullambana itu selesai, Maha Maudgalyayana bersama para Bhiksu, Bhiksuni, para Bodhisatva-Mahasatva semua merasa amat senang dan gembira. Mulai saat itu perasaan dukacita Maha Maudgalyayana lenyap. Pada saat itu juga, ibu Maudgalyayana terbebas dari satu kalpa penderitan di alam Setan-Kelaparan. Lalu Maha Maudgalyayana kembali berkata kepada Hyang Buddha, “Sekarang ibu saya sudah terlepas dari alam setan kelaparan karena diberkati oleh kekuatan jasa kebajikan dari Tri Ratna beserta kewibawaan dan kebajikan Perkumpulan Sangha. Di masa yang akan datang, jika ada murid-murid Hyang Buddha yang ingin menyelamatkan orang tua atau ayah-ibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam, dapatkah mereka menggunakan cara yang sama dengan memberikan persembahan kepada Sangha seperti pada upacara Ullambana ini?”
Hyang Buddha, menjawab, “Sadhu! Sadhu! Sadhu! Saya sangat senang mendengar pertanyaanmu. Sesungguhnya hal-hal yang demikian penting itu telah siap Kuuraikan kepada para umat sekalian, akan tetapi perhatiaanmu telah mendahului-Ku. Wahai orang-orang yang berbudi, apabila terdapat Bhiksu, Bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat jelata berhasrat ingin berbakti, membalas budi kepada orang tua yang telah melahirkan mereka ataupun 7 generasi orang tua di masa silam, iba hati kepada para makhluk sengsara, mereka boleh menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu yang jatuh setiap tanggal 15 bulan 7 Lunar, mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada perkumpulan Sangha yang datang dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda  mereka yang masih hidup mendapat umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan orang tua mereka yang telah meninggal beserta 7 generasi ayah-ibu dari masa yang lampau itu dapat keluar dari alam Setan-Kelaparan atau alam Samsara lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam manusia atau di alam bahagia, hidup dengan penuh kebahagiaan.” Hyang Buddha kembali bersabda, “Barang siapa yang ingin berbakti kepada leluhurnya serta kedua orang tua yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal dunia, mereka seyogyanya senantiasa mengingat kedua orang tua yang masih hidup atau yang sudah meninggal itu. Setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Lunar mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha, melimpahkan jasa kepada orang tua mereka di kehidupan sekarang dan 7 generasi orang tua di masa silam, guna membalas budi mereka, yang telah berjasa pernah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Demikianlah, semoga semua murid-murid Hyang Buddha dapat menghayati Dharma yang sangat berarti ini.” Pada saat itu, Bhiksu Maudgalyayana beserta keempat kelompok murid-murid Buddha merasa bergembira setelah mendengarkan khotbah Hyang Buddha. Mereka bertekad untuk mempraktikkannya.

No comments:

Post a Comment

please leave your comment...^^

Popular Posts