Pages

Saturday, January 28, 2012

Dua Bata Jelek

Setelah kami membeli tanah untuk wihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangunan di atas tanah itu, bahkan sebuah gubuk pun tak ada. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu-pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjal pintu-pintu itu dengan batu bata di setiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras – tentu saja, kami kan pertapa hutan).
Biksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu yang datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar di tengahnya, yang dulunya tempat gagang pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetapi malah jadi ada lubang persis di tengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tak perlu bangkit dari ranjang jika ingin ke toilet! Kenyataannya, ada saja, angin masuk melewati lubang itu. Saya jadi tak bisa tidur nyenyak sepanjang malam-malam itu.
Kami hanyalah biksu-biksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang – bahan-bahan bangunannya saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang: bagaimana mempersiapkan pondasi, menyemen dan memasang batu bata, memasang atap, memasang pipa-pipa – pokoknya semua. Saya adalah seorang fisikawan teori dan guru SMA sebelum menjadi biksu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan saya menjuluki tim saya “BBC” (Buddhist Building Company). Tetapi, pada saat memulainya, ternyata bertukang itu sangatlah sulit. Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!
Sebagai biksu, saya memiliki kesabaran dan waktu yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok bata saya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saya itulah saya melihatnya – oh, tidak! – saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.
Saat itu, semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala wihara apakah saya boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala wihara bilang tak perlu biarkan saja temboknya seperti itu.
Ketika saya membawa para tamu pertama kami berkunjung keliling wihara kami yang baru setengah jadi, saya selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.
“Itu tembok yang indah,” ia berkomentar dengan santainya.
“Pak,” saya menjawab dengan terkejut, “apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”
Apa yang ia ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkenaan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata, “Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 batu bata yang bagus.”
Saya tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu-batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu-batu bata yang bagus,  batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua bata jelek itu. Selama ini, mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat; saya terbutakan dari hal-hal lainnya. Itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang, saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. Tembok itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, “Sebuah tembok yang indah.” Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, namun saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.
Berapa banyak orang yang memutuskan hubungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari diri pasangannya adalah “dua bata jelek”? Berapa banyak di antara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita liihat diri kita hanyalah “dua bata jelek”? Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata yang bagus – di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari yang jelek – namun pada saat itu kita tak mampu melihatnya. Malahan, setiap kali kita melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang, sayangnya, kita benar-benar menghancurkan “sebuah tembok yang indah”.
Kita semua memiliki “dua bata jelek”, namun bata yang baik di dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada bata yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak terlalu buruk lagi. Bukan hanya kita bisa berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, namun kita juga bisa menikmati hidup bersama pasangan kita. Ini kabar buruk bagi pengacara urusan perceraian, tetapi ini kabar baik bagi Anda.
Saya telah beberapa kali menceritakan anekdot ini. Pada suatu pertemuan, seorang tukang bangunan mendatangi dan memberi tahu saya tentang rahasia profesinya.
“Kami para tukang bangunan selalu membuat kesalahan,” katanya, “tetapi kami bilang ke pelanggan kami bahwa itu adalah “ciri unik” yang tiada duanya di rumah-rumah tetangga. Lalu kami menagih biaya tambahan ribuan dolar!”
Jadi, “ciri unik” di rumah Anda, bisa jadi, awalnya adalah suatu kesalahan. Dengan cara yang sama, apa yang Anda kira sebagai kesalahan pada diri Anda, rekan Anda, atau hidup pada umumnya, dapat menjadi sebuah “ciri unik”, yang memperkaya hidup Anda di dunia ini, tatkala Anda tidak lagi terfokus padanya.
Sumber : Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya oleh Ajahn Brahm.

Sunday, January 22, 2012

Asal mula Chun Lian (Terhindar dari Kekuatan Jahat)

Setiap Tahun Baru Imlek, masyarakat China selain makan jiaozi (Chinese dumpling), membakar petasan, saling mengunjungi, dan mengucapkan selamat tahun baru, juga melakukan satu hal yang mencolok, yakni tie chun lian  atau menempelkan tulisan di sisi kiri dan kanan pintu rumah atau pintu gerbang.
Chun lian itu adalah sepasang tulisan di atas kertas merah. Maksud semula menempel chun lian adalah untuk mengusir hantu dalam rmah atau mencegah roh-roh jahat masuk ke dalam rumah atau suaru wilayah untuk menggangu anggota rumah atau warga.
Mengapa orang-orang di daratan China mempunyai keyakinan seperti itu?
Pada zaman dahulu, di sebelah timur laut negeri itu, ada sebuah hutan pohon persik di atas sebuah gunung. Pohon persik bermacam-macam ukurannya, ada yang kecil dan ada juga yang sangat besar. Di antara pohon persik yang ada di hutan itu, terdapat satu pohon yang sangat besar dan memiliki dua lubang pada batangnya. Di dalam dua lubang itu tinggallah kakak –beradik. Sang kakak bernama Shen Tu dan si adik bernama Yu Lei. Shen Tu dan Yu Lei bahu-membahu menjaga hutan pohon persik tersebut.
Di belakang hutan pohon persik ada sebuah lubang besar mirip sebuah sumur yang besar. Lubang itu dalam sekali dan dihuni berbagai siluman dan hantu. Umumnya mereka tidak berani keluar lubang dan masuk ke hutan pohon persik, karena ada dua penjaga yang sangat galak, yakni Shen Tu dan adiknya, Yu Lei.
Shen Tu dan Yu Lei sangat perkasa dan kuat, sampai-sampai binatang-binatang buas di gunung itu sangat takut terhadap mereka. Si harimau tua yang paling ditakuti oleh para siluman pun takut terhadap Shen Tu dan Yu Lei. Jika para siluman berani macam-macam mencuri buah persik, dengan cepat Shen Tu dan Yu Lei menangkap mereka dan membuangnya ke sarang harimau untuk jadi santapan lezat harimau-harimau gunung.
Para siluman dan hantu tidak pernah patah arang untuk mencari jalan agar bisa berbuat sesuka mereka. Suatu hari, ketua para hantu dan siluman, sebut saja Nenek Hantu, mengajak warganya untuk rapat. “Kita tidak boleh selamanya tinggal diam. Kita harus mencari jalan untuk bisa keluar dan melakukan apa yang kita suka,” katanya.
Para hantu dan siluman pun menyambut dengan gembira motivasi yang diberikan oleh Si Nenek Hantu. “Rupanya Nenek Hantu adalah motivator yang sangat ulung,” demikian pendapat mereka.
Lalu, seorang di antara mereka bertanya, “Jika Shen Tu dan Yu Lei mengejar kita, bagaimana?” Para siluman dan hantu, setelah mendenganr pertanyaan ini, dengan segera kembali putus harapan.
Akan tetapi, di tengah keputusasaan itu, seekor hantu cerdik berkata, “Begini, waktu Shen Tu dan Yu Lei tidur kita curi saja perlengkapan dan senjata mereka. Tanpa senjata itu mereka tak akan berdaya menangkap kita.”
“Usul yang sangat bagus. Jika terlaksana, pasti berhasil,” ujar seorang siluman.
“Tapi, siapa yang harus pergi mencuri perlengkapan dan senjata mereka?” tanya salah satu dari mereka. Tidak satu siluman dan hantu pun yang berani mengajukan diri. Mereka sangat paham akan kemampuan Shen Tu dan Yu Lei.
Tiba-tiba seekor hantu kecil pun mempromosikan diri, “Baik, baik, jangan khawatir, aku hantu paling kecil, mereka susah melihat aku. Biar aku yang pergi dan mencuri senjata mereka.”
Sementara itu, hari sudah larut malam, dan setelah memeriksa semuanya, Shen Tu dan Yu Lei pun tertidur. Si hantu kecil mulai beraksi dan masuk ke ruangan tidur Shen Tu dan Yu Lei. Hantu kecil itu agak takut juga, karena senjata itu ada di samping kepala Shen Tu dan Yu Lei. Namun, mengingat bahwa jika senjata tidak diambil mereka akan seterusnya merana, dengan tekad yang kuat ia mendekat dan mengambil senjata itu. Shen Tu dan Yu Lei tidak terbangun. Dengan bersemangat si hantu kecil pulang ke istana mereka. Teman-teman dan rekan sejawat pun menyambut dengan kegirangan.
“Ha-ha-ha... mereka tak akan berdaya menangkap kita lagi. Ayo, saatnya kita berpesta. Kita keluar sarang dan segera mengacaukan para penduduk desa.” Mereka dengan bangga menyambut gembira kebebasan mereka. Bahkan, para siluman pun berani bertindak untuk menganggu Shen Tu dan Yu Lei.
Shen Tu dan Yu Lei bersiap menangkap para siluman pengacau, tetapi tiba-tiba mereka sadar bahwa senjata mereka sudah hilang. Mereka mencoba mencari, tetapi tidak mendapatinya. Dari kejauhan terlihat si hantu kecil sedang bermain-main dengan senjata mereka.
Shen Tu tertawa sinis sambil berkata kepada adiknya, “Para siluman itu menyangka dengan membawa senjata itu maka kita tidak berdaya. Mereka salah, mari kita beri mereka pelajaran!”
Dengan segera Shen Tu dan Yu Lei pergi mengambil sebuah dahan dari pohon persik yang paling tua dan besar. Setelah itu mereka segera berlari ke arah para siluman. Para siluman pun mulai ketakutan. Namun, Nenek Hantu berkata, “Jangan takut! Senjata andalan mereka tidak ada di tangan mereka. Mereka bisa berbuat apa terhadap kita? Ayo kita teruskan pesta.” Mendengar ucapan Nenek Hantu, mereka pun merasa tenang.
Waktu Shen Tu dan Yu Lei datang, mereka semua malah tertawa sambil mengolok-olok, “Ha-ha-ha kalian datang ke sini mau ngapain? Apa mau cari senjata kalian? Sayang, senjata kalian sekarang sudah jadi milik kami.”
Namun, tanpa diduga, dengan cepat Shen Tu dan Yu Lei menghajar dan menangkap mereka. Dalam waktu singkat mereka semua diikat dan dilemparkan kembali ke lubang dalam sarang mereka.
Rupanya Shen Tu dan Yu Lei tetaplah jagoan meski senjata andalan tidak ada di tangan mereka. Para siluman dan hantu sangat ketakutan dan tidak berani lagi macam-macam  jika mendengar nama Shen Tu dan Yu Lei atau mengetahui keberadaan mereka di suatu tempat.
Sejak saat itu penduduk desa selalu menggunakan dua lembar kertas yang terbuat dari bahan pohon persik. Pada kertas itu ditulis nama Shen Tu, dan Yu Lei pada kertas lain. Kedua kertas itu lalu ditempelkan di sebelah kiri dan kanan pintu rumah atau gerbang. Kalau tahu ada dua nama yang menakutkan itu, para siluman dan hantu tidak akan berani datang mengganggu. Itulah kisah mengapa orang membuat chun lian.
Pada zaman Dinasti Ming (1369-1644 Masehi) di kota Nanjing, ditetapkan bahwa di setiap rumah penduduk harus ada chun lian dari kertas merah di setiap pintu rumah dan gerbang. Tentu chun lian tidak lagi semata bertuliskan nama Shen Tu dan Yu Lei, namun boleh bermacam-macam tulisan hikmat atau berkat. Kertas merah itu sudah menjadi lambang Shen Tu dan Yu Lei, serta tulisan di atasnya bisa jadi adalah kata-kata mutiara atau harapan yang oleh seisi rumah diharapkan bisa terjadi pada tahun baru.
Moral Cerita :
Pasti ada kekuatan yang bisa menolong kita untuk tidak diganggu atau dicelakai oleh roh-roh jahat. Pasti ada cara yang bisa menolong untuk mengatasi semua gangguan atau masalah dalam kehidupan kita.
Gong Xi Fa Cai
Wan Shi Ru Yi
Shen Ti Jian Kang

Friday, January 20, 2012

Jiu Niu Yi Mao : Sembilan Sapi Kehilangan Satu Bulu

Bunuh Diri adalah Sia-sia
Pada zaman Dinasti Han, saat Raja Han Wu Di berkuasa, di China bagian utara, ada satu suku yang bernama Xiong Nu. Tentara mereka sering mengacaukan dan membuat masyarakat resah. Mereka sering mengganggu untuk merongrong kewibawaan Raja Han Wu Di.
Karena sudah begitu keterlaluan tingkah laku mereka, Raja pun menugaskan Li Ling, seorang panglima tentara kerajaan untuk mengatasi suku Xiong Nu. Li Ling dan pasukan yang dipimpinnya adalah orang-orang pilihan yang sangat ahli dalam bertempur. Karena itu, begitu mendapat tugas resmi dari Raja, mereka segera menyerang tentara suku Xiong Nu dan mengalahkan mereka. Sebagian yang lari dikejar sampai dapat dan Li Ling sungguh-sungguh menghancurkan kekuatan tentara Xiong Nu. Setelah beberapa waktu, rakyat pun tidak resah lagi.
Raja sangat gembira karena Xiong Nu tidak mengganggu dan meresahkan rakyat lagi. Raja juga kagum akan kehebatan Li Ling dan pasukan yang dipimpinnya. Para menteri pun datang mengucapkan selamat kepda Raja. Mereka terutama mengucapkan selamat atas keputusan Raja memilih Li Ling untuk menghancurkan kekuatan Xiong Nu.
Tanpa diduga, Xiong Nu membangun kekuatan baru dan merancang strategi yang matang untuk menyerang Li Ling dan pasukannya. Mereka pun datang secara tiba-tiba ketika Li Ling dan pasukannya dalam keadaan tidak siap. Tidak berapa lama, pasukan Xiong Nu dapat mengalahkan pasukan Li Ling.
Raja sangat geram dan khawatir mendengar bahwa pasukan andalannya dapat dikalahkan oleh Xiong Nu. Segera ia mengumpulkan para menteri untuk mengadakan rapat khusus. Para menteri yang dulu mengagumi keputusan Raja karena memilih Li Ling kini balik menyesalkan keputusan Raja dan mereka pun mengumpat-umpat Li Ling. “Li Ling itu tidak dapat dipercayai, sudah diberi kekuasaan khusus oleh Raja ternyata sama sekali tidak berdaya. Lagipula begitu mudah dikalahkan, sehingga membuat kerajaan kita dipermalukan. Lebih baik Tuanku Raja membawa seluruh anggota keluarganya ke sini dan dihukum mati satu per satu sebagai imbalannya yang tidak dapat dipercayai. Kita perlu lakukan ini supaya di kemudian hari orang yang dipercayai sungguh-sungguh bertanggung jawab dalam menjaga keamanan negara.”
Di antara para menteri ada pejabat bawahan namanya Si Ma Jian. Si Ma Jian tidak terima dengan usulan itu lalu angkat bicara, “Baginda Raja, pasukan yang dipimpin Li Ling hanya berjumlah lima ribu tentara, sedangkan pasukan Xiong Nu jumlahnya enam belas kali lipat lebih banyak. Jadi, kekalahan adalah hal yang wajar. Lagi pula sebelum kalah, ia sudah membunuh ribuan rentara musuh. Dan, jika tampat ia menyerah, mungkin ia punya strategi lain untuk di kemudian hari benar-benar bisa menumpas musuh. Saya ini teman baik Li Ling, saya kenal dia. Mengatakan bahwa dia tidak berdaya itu tidak adil, apalagi harus membawa seluruh keluarganya dan membunuh mereka satu per satu!” Raja geram terhadap pernyataan itu lalu segera memasukan Si Ma Jian ke dalam penjara.
Pada tahun berikutnya, Xiong Nu menyebarkan berita bahwa Li Ling sudah berlatih serius untuk menjadi tentara andalan Xiong Nu. Berita ini membuat Raja semakin gusar dan ia segera membunuh ibu Li Ling. Lalu Raja juga memanggil Si Ma Jian dan berkata, “Kamu bilang Li Ling pura-pura menyerah, apakah kamu tahu kalau sekarang ia sudah menjadi bagian penting dari tentara musuh?” Raja lalu menjebloskan Si Ma Jian ke dalam penjara yang paling buruk dan disiksa setiap hari. Karena tidak tahan terhadap semua siksaan tersebut maka Si Ma Jian berniat bunuh diri. Namun, segera ia berpikir bahwa ia bukanlah orang penting dalam kerajaan. Jika ia bunuh diri pasti tidak ada pengaruh apa-apa. Jika mati secara demikian, aku seperti sembilan sapi kehilangan satu bulu (jiu niu yi mao), tidak ada artinya. Aku harus melanjutkan hidup dan membuat hidup jauh lebih berarti dan berguna bagi negara ini. Demikianlah ia menahan semua siksaan dalam penjara. Setelah melewati waktu tertentu, ia dibebaskan dan bertekun menggapai sukses. Ia akhirnya menjelma menjadi seorang pemikir yang sangat membantu kerajaan Xi Han.
Di kemudian hari Jiu Niu Yi Mao menjadi sebuah ungkapan China yang terkenal untuk menggambarkan sesuatu yang kurang penting atau tiada guna.
Moral Cerita :
Bunuh diri adalah mati yang tiada guna. Lebih baik berani hidup menghadapi susah daripada mati dengan tidak berarti. Jika orang mau melihat masa depan yang baik, ia tidak boleh mudah menyerah dan putus asa.

Saturday, January 14, 2012

Chen Shi Yi Liang Shang Jun Zi (Orang Bijak Akan Bisa Mengubah Orang Jahat Jadi Baik)

Pada zaman Dong Han, di daerah Ying Chuan, ada seorang kepala desa bernama Chen Shi. Dia memiliki wibawa dan karisma dalam memimpin. Dia juga tegas, sehingga semua persoalan dapat diselesaikan dengan cepat. Dan, yang paling disukai, ia mampu membawa desa itu bertambah maju, dan rakyat makin lama makin sejahtera. Ia sendiri merupakan pribadi yang dekat dengan rakyat sehingga rakyat menaruh harapan yang besar kepadanya.
Suatu saat ada seorang pencuri berhasil masuk ke rumah Chen Shi. Pencuri itu bersembunyi di loteng rumah (liang shang). Ia menunggu sampai tidak ada orang di rumah baru turun dan beraksi menggondol barang-barang di rumah Chen Shi. Akan tetapi, ternyata diam-diam Chen Shi sudah mengetahui kehadiran pencuri di loteng rumahnya. Walaupun demikian, ia sama sekali tidak berteriak atau menghardik pencuri itu. Ia malah berpura-pura tidak melihat, dan seolah-olah belum mengetahui kehadiran tamu tak diundang itu.
Chen Shi memakai seragam kepala desa lalu membangunkan semua anak dan cucu laki-lakinya masuk ke ruangan di mana di langit-langit ruangan si pencuri bersembunyi. Lalu dengan serius ia berkata, “Kalian harus rajin bekerja dan belajar supaya bisa bekerja dengan baik dan jujur. Yang masih kecil hendaklah sedari dini jangan membiasakan diri hidup malas dan berbuat yang tidak baik kepada orang lain. Semua harus menuntut kemajuan dan berjuang untuk hidupnya jangan sekali-kali mencuri barang orang lain. Ada orang yang semula bukanlah orang jahat, tetapi karena malas, ia belajar berbuat jahat. Lalu karena pernah berbuat jahat, kejahatan itu pelan-pelan jadi kebiasaan hidupnya. Semua orang jika mau belajar dan rajin bekerja keras, akan memiliki kesempatan untuk menjadi orang baik, bahkan bisa menolong orang lain dan tidak mencuri barang orang.”
Setelah menasihati anak dan cucunya, Chen Shi menunjukkan jarinya ke arah langit-langit rumahnya, persis ke arah si pencuri itu bersembunyi, lalu melanjutkan nasihatnya, “Kalian semua lihat, di balik langit-langit rumah, tepat di atas sini ada orang baik sedang terpeleset menjadi orang yang tidak baik.”
Pencuri yang sedari tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya tahu bahwa sesungguhnya Chen Shi sudah mengetahui kehadiran dirinya. Dengan perasaan bersalah, ia memberanikan dirinya untuk turun di hadapan Chen Shi dan anak cucunya. Di hadapan Chen Shi ia berlutut memohon maaf sambil menangis.
Melihat si pencuri benar-benar menyesal, Chen Shi berkata, “Melihat sikapmu yang seperti ini, tampaknya kamu belum berpengalaman menjadi orang jahat. Jika boleh menebak, pasti karena kamu sedang kesulitan sehingga membutuhkan uang. Karena kebutuhan akan uang kamu sekarang berniat mencuri. Apakah semua itu benar?”
Si pencuri itu pun berkata, “Semua tebakan Tuan benar adanya!”
Lalu Chen Shi memerintahkan anak cucunya untuk mengambil sejumlah uang untuk diberikan kepada orang itu. Pencuri itu pun menangis tersedu-sedu, sekaligus bahagia karena kejahatan yang dirancangnya justru dibalas dengan kebaikan oleh Chen Shi. Ia pun berjanji untuk tidak lagi mencuri uang atau barang yang bukan miliknya dan bertekad untuk menjadi orang baik seperti Chen Shi.
Moral Cerita :
Dalam masyarakat terkadang bisa ditemui orang yang berbuat jahat yang semula sama sekali tidak berniat berbuat demikian, namun karena kondisi yang mendesak akhirnya mereka melakukan kejahatan dan menjadi kebiasaan yang “menyenangkan” bagi mereka. Orang bijak akan mampu memotivasi orang jahat untuk mengubah hidupnya agar tidak berbuat jahat lagi. Orang jahat berubah menjadi orang baik itu adalah buah yang dihasilkan oleh orang yang bijak.


Friday, January 13, 2012

Rumah Berjendela Emas

A
lkisah, tersebutlah seorang gadis cilik yang hidup di sebuah gubuk kecil yang sangat sederhana di atas sebuah bukit. Di masa pertumbuhannya, si gadis cilik sering bermain di pekarangan kecil berbatas pagar. Dari atas bukit, ia bisa melihat lembah yang indah dan sebuah rumah megah di bukit lainnya. Rumah megah dengan jendela emas itu tampak berkilau indah dan si gadis cilik ini  membayangkan, betapa senangnya tinggal di rumah berjendela emas dan indah ketimbangan rumahnya yang teramat sangat sederhana.
Kendati pun menyayangi kedua orangtuanya, si gadis cilik ini sangat ingin tinggal di rumah emah idamannya. Dari hari ke hari, ia terus membayangkan tinggal di rumah tersebut.
Ketika umurnya cukup besar dan badannya cukup kuat, si gadis yang kini sudah pandai bersepeda, minta izin kepada ibunya. Ia ingin jalan-jalan di luar pekarangan rumah. Sesudah merengek panjang, ibunya akhirnya mengizinkan, dengan pesan, tak boleh pergi terlalu jauh dari rumah. Si gadis cilik itu sangat senang dan segera mengayuh sepedanya ke arah bukit tempat berdirinya rumah berjendela emas. Keinginan yang besar untuk tiba di rumah megah itu membuatnya mengayun sepeda tanpa kenal lelah. Tanpa terasa, dia sudah sampai di bukit tersebut.

Ia terus fokus pada jalan menuju rumah tersebut dan pada rumah itu, ketika sampai di pagar rumah, si gadis sangat kecewa. Jendela rumah itu ternyata bukan jendela emas, tapi jendela biasa dan kotor. Kondisi rumah tersebut ternyata sangat buruk dan tampak sudah lama terlantar.
Si gadis cilik sedih dan kecewa. Ia tak ingin masuk ke dalam rumah tersebut dan memutar balik sepeda. Ketika memandang ke kejauhan, ia melihat lembah dan bukit di seberang sana. Ia terkesima melihat sebuah rumah kecil dengan jendela keemasan ditimpa sunar surya. Si gadis cilik itu sadar, rumah kecil itu adalah rumahnya. Ia ingin segera kembali ke rumahnya, bertemu dengan kedua orangtuanya, dan merasakan kasih sayang mereka. Semua impiannya ada di dalam rumah kecilnya.
Moral Cerita :
Sebuah rumah menjadi berarti, menjadi ‘home’, bukan sekadar ‘house’ karena di dalamnya ada kasih sayang dan cinta.
Bayangan sering kali lebih indah dari kenyataan yang sebenarnya.

Saturday, January 7, 2012

Kisah Petani yang Serakah

Alkisah, seorang petani yang hidup di suatu masa yang punya beratus-ratus hektar tanah datang menghadap Dalai Lama Tibet untuk minta tanah. Ketika bertemu dengan Dalai Lama, sambil berlutut ia minta tanah yang masih terbentang luas di Tibet.
“Berapa yang ingin kamu minta?” tanya Dalai Lama.
Petani tidak langsung memberikan jawaban. Kalau minta terlalu banyak, ia takut tak akan dikasih. Kalau  minta terlalu sedikit, berarti ia menyia-nyiakan peluang besar ini. Karena itu ia balik bertanya, “Berapa banyak tanah yang akan Bapak Suci berikan kepada saya?”
“Sebanyak yang kamu inginkan dengan aturan seperti ini. Siapa pun yang datang ke saya untuk minta tanah, ia akan mendapatkan tanah sebanyak yang bisa ditempuhnya dengan jalan kaki dan harus kembali ke saya sebelum matahari terbenam. Jika tak bisa kembali pada waktu itu, dia akan pulang dengan tangan kosong,” jelas Dalai Lama.
Pada hari yang ditentukan, si petani itu mulai mengambil langkah dengan berlari sekencang mungkin untuk menjelajahi tanah seluas mungkin. Pada perhentian pertama, dia tidak menyadari telah menjelajahi 5 gunung. Ketika melihat gunung yang lebih besar di depannya, ia jadi tergoda untuk menjelajahinya. Pada perhentian kedua, si petani mulai berpikir, “Saya tidak boleh terlalu serakah, tapi di depan saya ada gunung besar. Saya tak boleh menyia-nyiakannya,” katanya.
Hal yang sama ternyata terulang lagi. Semakin banyak gunung yang berhasil dijelajahinya, semakin besar gunung yang terletak di depannya. Ketika teringat aturan Dalai Lama, dengan berat hati ia menempuh jalan pulang. Ia terus melihat ke belakang, ke gunung besar yang dilewatinya. Ia sangat lelah, kehabisan napas dan terengah-engah.
Ketika melihat matahari hampir terbenam, ia mulai panik dan berlari sekencang mungkin menuju kediaman Dalai Lama. Dengan napas tinggal satu-satu, ia menghadap Dalai Lama.
“Oh, kamu sudah kembali. Berapa banyak tanah yang berhasil kamu jelajahi?” tanya Dalai Lama.
Dengan napas terputus-putus, petani itu menjawab, “Tidak... tidak... tidak... terlalu banyak! Tapi... tapi... masih tidak cukup!”
Sebelum melanjutkan kata-katanya, ia menghembuskan napas yang terakhir.
Moral Cerita :
Tao Te Ching mengatakan, “Puas dengan hanya secukupnya mencegah ekstrim. Tahu kapan sudah cukup dan yang hilang akan lebih sedikit. Tahu kapan berhenti dan bahaya akan berkurang.”
Orang bijak paham, kapan cukup artinya cukup.

Thursday, January 5, 2012

Orang Tua vs Anak

Seorang kakek berumur 90 tahun duduk di sofa bersama putranya yang terpelajar, berusia setengah baya. Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan bertengger di jendela.
“Apa itu?” tanya kakek tersebut.
“Burung gagak,” jawab anaknya.
Beberapa menit kemudian, si ayah kembali bertanya lagi kepada anaknya, “Apa itu?”
Si anak berkata, “Ayah, tadi saya baru bilang, itu burung gagak.”
Sebentar kemudian, kakek itu kembali bertanya untuk ketiga kalinya.
“Apa itu?”
Kali ini, si anak jadi kesal dan menjawab gusar, “Itu burung gagak, burung gagak, burung gagak.”
Selang beberapa saat, kakek itu bertanya lagi untuk keempat kalinya, “Apa itu?”
Kali ini si anak benar-benar kehilangan kesabaran. Dengan setengah membentak, ia bertanya, “Mengapa Ayah terus menanyakan hal yang sama terus-menerus? Saya sudah bilang berkali-kali, ‘Itu burung gagak’. Apakah Ayah tidak bisa lagi mengerti?”
Tanpa menjawab, kakek itu pergi ke kamarnya dan kembali dengan sebuah buku harian usang yang ditulisnya sejak anaknya lahir. Ia lalu membuka satu halaman dan meminta anaknya membaca halaman itu.
“Hari ini, putra cilikku yang berumur 3 tahun duduk di sofa. Tiba-tiba seekor burung gagak terbang mendekat dan bertengger di jendela. Putraku bertanya 23 kali apa itu. Dan saya jawab 23 kali bahwa itu burung gagak. Saya memeluknya setiap kali ia menanyakan pertanyaan yang sama, lagi dan lagi sebanyak 23 kali. Sama sekali tak ada rasa jengkel. Yang terasa justru kasih sayang kepada putraku yang belum mengerti apa-apa.”
Ketika putra ciliknya bertanya 23 kali, apa itu, pria tersebut sama sekali tidak marah dan menjawab 23 kali dengna jawaban yang sama. Tapi, ketika pria itu bertanya 4 kali pertanyaan yang sama kepada anaknya, si anak jengkel dan marah.
Moral Cerita :
Jika orangtua sudah lanjut usia, jangan tolak mereka dan menganggap mereka sebagai beban. Bicara kepada mereka dengan kata-kata baik, tenang, sopan, dan manis budi. Beri perhatian dan kasih sayang kepada mereka.
Mulai hari ini katakan atau janji kepada diri sendiri, ‘Saya ingin lihat orangtua saya bahagia untuk selamanya. Mereka telah mengasih dan mengasuh saya sejak bayi. Mereka selalu melimpahi saya dengan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Saya berjanji akan belajar sabar seperti orangtua saya sabar dengan saya ketika kecil. Mengucapkan kata-kata manis seperti yang selalu dilakukan mereka ketika saya tidak mengerti.’

Monday, January 2, 2012

Gao Ming De Jian Fei Yi Sheng : Dokter Diet yang Cerdik (Tidak Mudah Putus Asa)

Ada seorang saudagar yang kaya-raya di negeri China pada zaman dahulu kala. Setiap hari ia tidak perlu mengerjakan pekerjaan kasar, karena ada pembantu yang sudah digaji olehnya. Bahkan, urusan rumah dan urusan pekerjaannya, ia tidak perlu berpikir keras karena ada sekretaris yang digaji mahal untuk memikirkan semua pekerjaan dan mengatur pekerjaan dengan baik. Tiap hari kerjanya cuma bermain, makan, dan minum. Karena itu, tubuhnya sangat gemuk dan menderita obesitas. Untuk jalan kaki saja ia sudah susah melakukannya. Sudah sampai kondisi demikian baru ia menyadari bahwa ia perlu diet. Maka, ia pergi ke dokter diet yang sangat terkenal saat itu untuk menanggulangi masalah berat badannya.
Saudagar kaya itu bertanya kepada dokter ahli diet, “Saya sudah segemuk ini, untuk jalan saja saya sudah hampir tidak mampu. Untuk menarik napas pun rasanya sudah sesak dan berat. Karena itu, saya datang menemuimu ingin serius menjalani diet. Namun, masalahnya saya tidak tahan meninggalkan kebiasaan makan enak seperti yang setiap hari saya lakukan. Apakah dokter punya cara yang terbaik untuk program diet saya? Saya sudah sangat menderita karena kegemukan karena itu tolonglah saya mengatasi penderitaan ini dengan cara terbaik tanpa saya harus meninggalkan makanan yang enak-enak tersebut. Saya punya banyak uang di rumah, jika kamu berhasil menolong saya untuk diet maka saya akan memberimu uang yang banyak!”
Dokter ahli diet itu pun memeriksa seluruh badannya dengan teliti lalu berkata, “Saya tahu kamu punya banyak uang dan bisa membayar saya dengan uangmu, saya tidak sanggup menyembuhkanmu. Masalahnya adalah bahwa kamu bukan hanya menderita obesitas yang parah, tetapi juga sudah mempunyai penyakit yang berat. Sungguh sudah tidak mungkin disembuhkan. Saya jamin hidupmu paling lama tinggal empat puluh hari lagi!”
Saudagar kaya itu mulai takut setelah mendengar apa yang dikatakan oleh dokter ahli tersebut. Berita itu bagai petir yang menyambarnya di siang bolong baginya, sehingga membuat hatinya gelisah dan tidak bisa melupakan perkataan dokter itu. Ia pun pulang dengan sedih karena mengetahui bahwa hidupnya tinggal empat puluh hari lagi. Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan diri di ranjangnya. Ia tidak ingi makan dan minum, bahkan ketika memejamkan mata untuk tidur pun ia tidak bisa tidur. Jika bangun pagi ia terus mondar-mandir karena hatinya gelisah dan takut menghadapi hari kematiannya yang semakin mendekat. Tiap hari ia jalan mondar-mandir tanpa henti. Jika capek, ia naik ke ranjang dan berbaring. Makan tak enak, minum pun tak terasa lega. Tiap hari ia makan sangat sedikit dan tidak ada selera lagi minum yang enak. Orang-orang di rumahnya tidak seorang pun yang bisa membujuknya agar mau makan dan minum. Baginya semua makanan dan minuman tidak lagi membuatnya berselera untuk menikmatinya. Tiap hari ia menghitung hari. Setelah tiga puluh hari lebih, daging dan lemak di tubuhnya merosot drastis. Pada hari ketiga puluh sembilan ia menyiapkan baju termahal yang pernah dimilikinya, sepatu  yang terbaik yang ia punyai, lalu setelah mandi sebersih mungkin ia mengenakan semua itu untuk menghadapi hari kematiannya.
Pada hari keempat puluh, ia berbaring di tempat tidurnya untuk menghadapi hari kematiannya. Keringat deras membasahi bajunya. Karena walaupun sudah empat puluh hari mempersiapkan hari kematiannya, ia masih takut menghadapi detik-detik malaikat maut menjemputnya. Ia memejamkan mata di atas ranjang dengan hati yang gelisah walau sudah sebisa mungkin menenangkan diri. Karena takut dan lelah menunggu, ia pun tertidur pulas.
Keesokkan harinya, hari keempat puluh satu, ia bangun dan mendapati bahwa tubuhnya segar dan kematian tampak masih enggan menghampirinya. Karena tiu, ia merasa bahwa dokter diet itu telah menipunya mentah-mentah. Ia pun marah dan mendatangi dokter diet itu. Dengan emosi tinggi ia berkata kepada dokter, “Dokter bilang saya hanya akan hidup empat puluh hari lagi dan sekarang sudah hari keempat puluh satu, ternyata saya masih hidup bahkan saya rasa tubuh saya baik-baik saja. Kamu sungguh kurang ajar karena telah berani-beraninya menipu saya!”
Dokter diet itu pun sambil tertawa menjawabnya, “Bukankah kamu ingin diet untuk mengurangi daging dan lemak dalam tubuhmu? Saat itu saya hanya melihat bahwa obat terbaik untuk membuatmu benar-benar melakukan diet adalah pernyataan bahwa kamu akan mati dalam empat puluh hari. Lihatlah hasilnya, kamu sekarang sudah langsing dan jauh lebih lincah!”
Moral Cerita :
Dokter diet tersebut benar-benar hebat. Ia tampaknya sudah tahu bahwa jika saudagar kaya itu disarankan untuk diet dengan metode yang biasa, pasti tidak akan berhasil karena ia sulit mengontrol nafsu makannya dan tidak mau berolahraga. Pernyataan dokter itu membuatnya gelisah dan selera makannya pun hilang. Hasilnya sungguh nyata. Selalu ada jalan untuk mengatasi suatu masalah dan orang bijak tidak pernah mudah putus asa mencari jalan tersebut.

Popular Posts