Pages

Tuesday, December 25, 2012

Arti Sebuah Ketulusan



Alkisah, di suatu daerah terpencil hiduplah seorang ibu & anak gadisnya yang tunggal. Ibu ini sangat bersyukur karena mempunyai anak gadis yang sangat cantik, namun demikian mereka berdua tinggal dalam keadaan yang serba berkekurangan.
Sekalipun dalam keadaan seperti itu mereka menjalani hari demi hari dengan sukacita, sampai pada suatu waktu ibu ini jatuh sakit.
Menyadari sakitnya yang parah dan tidak mungkin disembuhkan, ia memanggil anak gadisnya yang semata wayang itu. Ia tahu bahwa waktunya akan tiba, ia tidak akan lama tinggal di dunia ini.
Sehari sebelumnya, ia berpikir dengan keras bagaimana ia harus meninggalkan anak satu-satunya, apalagi ia seorang gadis dan berparas cantik, timbul kekhawatiran dalam hatinya seseorang akan mencelakai atau memanfaatkan anaknya itu.
Karena itu kepada anak gadisnya, ibu ini berpesan, “Engkau tahu anakku, penyakit ibu yang sangat parah ini tak mungkin lagi untuk disembuhkan. Waktu ibu tidak akan lama anakku, sebenarnya ibu juga tidak rela meninggalkan engkau hidup sendirian, tetapi engkau tahu anakku, ternyata Tuhan mempunyai kehendak lain atas hidup kita, namun demikian anakku, ibu telah menuliskan 3 surat yang harus engkau baca setelah ibu tiada."
“Bacalah satu persatu surat itu, dari surat pertama, dan setelah engkau mengerjakan apa yang ditulis, barulah engkau membaca surat yang kedua, dan surat yang terakhir bacalah setelah engkau mengerjakan apa yang tertulis dalam kedua surat itu, atau engkau sudah bisa menguburkan jasad ibumu ini, jika engkau belum bisa mengerjakan apa yang tertulis dalam surat pertama dan kedua jangan engkau baca surat yang ketiga.”
Beberapa hari setelah memberi pesan itu, ibu ini meninggal. Demikian anak gadis ini menuruti perintah ibunya, dibacanya surat yang pertama. Dalam surat ini ibunya berpesan, "Anakku engkau tahu kita hidup dalam kemiskinan bahkan ketika ibu sudah tiada ibu tahu engkau tidak mempunyai cukup uang untuk menguburkan jasad ibumu ini, karena itu anakku, pergilah engkau ke tempat yang ramai, berkerumun banyak orang, dan bawalah jasad ibumu ini, baringkan ibu di atas sebuah tikar, dan buatlah 2 buat kain seperti umbul-umbul yang bertuliskan siapa yang berkenan menguburkan ibuku, jika ia perempuan aku akan bersedia mengangkat ia sebagai saudara atau bekerja untuknya dan jika ia laki-laki aku akan bersedia menjadi pendampingnya. Dan taruhlah 2 umbul-umbul ini di depan di sebelah kiri dan kanan jasad ibu, dan engkau duduklah didekat kaki ibumu ini."
Maka perintah ini segera dikerjakan oleh anaknya itu. Karena keingintahuan apa yang diperbuat gadis ini, banyak orang berduyun-duyun menghampiri gadis ini. Apa yang terjadi dengan dia?, siapakah yang meninggal ini? Dan banyak lagi pertanyaan lain berdatangan. 
Mendengar penjelasan gadis ini banyak orang jatuh iba atas kejadian yang menimpanya. Beberapa orang malah ingin menyumbangkan uangnya untuk gadis ini. Tetapi ia menolak, katanya, "Ibuku hanya berpesan siapa yang bisa menguburkan ibuku ini aku akan mengangkatnya sebagai saudara jika ia perempuan, dan jika lelaki aku akan menikah dengannya."
Beberapa orang menjadi keheranan dengan gadis ini, banyak komentar miring diberikan juga pada gadis ini, "Apakah ia tidak kasihan dengan keadaan ibunya yang seperti itu?", "Bukankah uang itu bisa digunakan untuk menguburkan ibunya?"
Disana ada juga banyak pemuda, bahkan lelaki yang sudah beristri ingin membantunya. Salah seorang itu berkata, "Hai, lihat gadis ini sangat cantik, sekalipun nampak berpakaian lusuh. Aku mau membiayai penguburan ibumu, tetapi setelah itu engkau harus menepati janjimu." Gadis ini mengangguk tanda setuju. 
"Jika demikiaan penguburan seperti apa yang kau kehendaki?" tanya pemuda itu. Maka gadis ini membaca surat kedua ibunya, setelah itu memberikannya pada pemuda itu. Dengan cepat ia mengambil surat itu dan membacanya, sejenak pemuda ini tertegun. Lalu ia mengembalikan surat itu kepada si gadis dan pergi begitu saja. Beberapa pemuda datang silih berganti, tetapi mereka semua pun pergi seperti pemuda yang pertama itu.
Hari itu ibu gadis itu belum dikuburkan karena belum ada yang menyanggupi syarat penguburan ibunya itu. 
Esok harinya hal yang terjadi kemarin pun terulang lagi. Sampai pada siang hari datanglah seorang lelaki yang terlihat sudah agak berumur. Banyak orang terlihat segan dengan laki-laki ini. Ia adalah salah seorang yang kaya raya di daerah itu. Ia juga dikenal sampai ke daerah seberang, ia mempunyai istri lebih dari satu. 
Demi melihat kecantikan gadis ini, ia pun menjumpai gadis ini, katanya, "Kamu tahu apa pun permintaanmu akan aku turuti asal kau mau menjadi istriku." Gadis ini berkata, "Aku tidak menginginkan apapun tetapi jikalau kamu bisa menguburkan ibuku ini, aku mau menjadi istrimu." Dengan tertawa keras ia mengambil surat ibu gadis itu, dan dibacanya. Ia sangat kaget, air mukanya pun berubah seketika.
Kepada gadis itu, laki-laki ini berkata, “Kamu dan ibumu adalah orang yang tidak tahu diri, kamu kira ibumu ini siapa sehingga aku harus menguburkannya dengan kuburan dari emas? Kamu tahu, raja-raja pun tidak sanggup melakukan ini. Pasti ibumu ini sudah gila." Dan ia pergi meninggalkan gadis itu dengan terus mengolok-olok gadis itu. Hari sudah menjadi petang, ibu gadis ini masih belum ada yang menguburkan.
Keesokkan harinya keadaan tidak sama seperti dua hari kemarin, banyak orang bergerombol menjauhi gadis ini, sambil bergunjing. Mereka menganggap gadis ini gila harta bahkan ada yang menganggapnya kurang waras.
Dari kejauhan nampak seorang pemuda berjalan menyusuri jalan di dekat gadis itu membaringkan jasad ibunya. Sepanjang jalan itu pemuda ini mendengar gunjingan orang tentang gadis ini. Sampai pada akhirnya pemuda ini menghentikan langkah kakinya di samping gadis itu.
"Apa yang sedang kau kerjakan disini adik? Jasad siapa ini? Apakah ini salah satu sanak saudaramu?", tanya pemuda itu.
"Oh bukan, ini jasad ibuku", jawab gadis itu.
"Jika demikian, mengapakah kamu tidak menguburkannya?" sekali lagi pemuda ini bertanya.
"Aku tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai penguburan ibuku, ini pesan dari ibuku sebelum beliau meninggal," gadis itu menyodorkan surat ibunya kepada pemuda itu.
Setelah membaca surat itu, pemuda ini tertegun sejenak, lalu berkata, "Adik, aku pun tidak bisa menguburkan ibumu ini dengan cara demikian, tetapi aku mempunyai beberapa uang, aku kira ini lebih dari cukup untuk menguburkan ibumu, lihatlah keadaan ibumu ini adik, sudah tiga hari beliau meninggal, dan sudah mulai berbau, ambillah uang ini dan kuburkan ibumu ini, aku tidak menuntut apapun atas uang ini kepadamu."
Mendengar perkataan pemuda itu, hati gadis ini tersentuh oleh kebaikan pemuda ini, dan ia berpikir bahwa perkataan pemuda ini benar, ibunya sudah meninggal tiga hari dan mulai berbau, tidak baik dan tidak berbakti  jika jasad ibunya rusak sebelum dikuburkan. Setelah berterima kasih kepada pemuda itu, ia menerima uang itu dan bersama pemuda itu mempersiapkan penguburan ibunya.
Setelah pemakaman itu, hari sudah mulai petang, kepada gadis itu pemuda ini berkata, "Adik, dimanakah rumahmu?"
Jawab gadis itu, "Rumahku tidak jauh dari sini, kelihatannya engkau seperti seorang perantau, jika engkau bersedia menginaplah malam ini dirumahku."
Pemuda ini menjawab, "Adik, aku ini seorang perantau sudah terbiasa aku berpetualang, malam ini aku akan meneruskan perjalananku."
Mendengar perkataan pemuda itu, gadis ini mengambil surat yang ketiga dari ibunya di saku bajunya. Setelah ia membaca surat itu, ia menyodorkan surat itu kepada pemuda itu, sambil berkata, "Sebenarnya ibuku meninggalkan 3 pesan sebelum ia meninggal, pesan pertama sudah aku kerjakan dan pesan yang kedua juga sudah aku kerjakan karena pertolonganmu, sekalipun tidak sesuai dengan keinginan ibu di surat kedua, sekarang ini adalah surat ibuku yang ketiga, maukah engkau mengabulkannya?"
Setelah menerima surat itu, pemuda ini membacanya, surat ini berisi pesan terakhir ibu gadis itu, "Anakku, ini adalah surat ibu yang ketiga, ibu hanya ingin mengatakan kepadamu, jika ada seorang yang mau menguburkan jasad ibumu ini dengan cara apapun, engkau ikutlah bersama dia, dan jika dia seorang laki-laki dan bersedia mendampingimu, hiduplah bersamanya dengan berbahagia, salam kasih dari ibumu."
Singkat cerita gadis dan pemuda ini hidup sebagai pasangan yang berbahagia.
"Tahukah apa perbedaan antara orang-orang yang pertama kali hendak memberi uang (menyumbang) kepada gadis itu dan orang muda yang tulus hati itu?" Orang yang pertama kali hendak memberi, ia mau memberi karena rasa iba, sedang pemuda itu memberi dengan kasih yang tulus. Memberi dengan rasa iba, ketika pemberian itu ditolak karena alasan lain, masih bisa timbul sakit hati dan bergunjing, tetapi memberi dengan kasih yang tulus sekalipun mendapat penolakan, ia tidak sakit hati, tetapi tetap mengasihi dan memberi dorongan, nasehat dan semangat sebagai seorang saudara. Sedang orang berikutnya yang hendak membantu gadis ini, adalah orang yang mau membantu hanya karena pamrih. "Harga sebuah ketulusan tidak bisa dinilai dengan emas dan banyaknya harta."
Dipos oleh Dola Indahsari di Bodhi Leaf Group

Monday, December 17, 2012

Mana yang Lebih Baik? Kritik atau Pujian???

Seorang pegawai Bank baru saja dimutasi dari kantor pusat ke kantor cabang di sebuah kota kecil. Suatu hari, anaknya sakit sehingga ia harus membeli obat. Di kota kecil itu hanya ada satu apotek. Karena letaknya di kota kecil, apotek tersebut langsung dilayani oleh pemilikinya. Ketika ia membeli obat di sana, ia sangat kecewa dengan pelayanan dari pemilik apotek tersebut.
Kemudian ia mengeluh kepada atasannya mengenai pelayanan buruk yang ia alami di apotek itu. Ia meminta pada atasannya untuk menyampaikan kritiknya pada pemilik apotek agar kejadian itu tidak terulang lagi padanya maupun pelanggan lainnya.
Beberapa hari kemudian pegawai Bank itu harus kembali membeli obat di apotek itu. Setiba di apotek ia sangat terkejut dan heran. Pemilik apotek menyambutnya dengan senyum lebar sambil mengatakan betapa senangnya ia melihat pegawai Bank itu berkenan datang kembali ke apoteknya dan berharap ia beserta keluarganya menyukai kota mereka.
Bukan hanya itu, pemilik apotek itu bahkan menawarkan diri membantu pegawai itu menguruskan berbagai hal agar dia dan keluarganya dapat menetap di kota itu dengan nyaman. Setelah itu, ia pun mengirimkan apa yang dipesan pegawai itu dengan cepat dan baik.
Pegawai itu bingung sekaligus merasa senang dengan perubahan luar biasa yang ditunjukkan oleh pemilik apotek itu. Lalu, ia memberitahukan hal itu kepada atasannya dan berterima kasih, "Anda tentu sudah menyampaikan kritik saya mengenai betapa buruk pelayanannya waktu itu. Terima kasih banyak. Sekarang pelayanannya sudah jauh lebih baik. Saya sangat puas."
"Oh, tidak," jawab atasannya. "Sebenarnya saya tidak menyampaikan kritik Anda pada pemilik apotek itu. Saya harap Anda tidak keberatan. Saya mengatakan betapa Anda terkagum-kagum padanya karena dapat mendirikan apotek di kota kecil ini serta menjual obat-obatan yang lengkap. Dan Anda merasa apoteknya merupakan salah satu apotek dengan pelayanan terbaik yang pernah Anda temui."
Moral Cerita :
Terkadang kita senang memberi kritikan dibandingkan dengan pujian. Serta menganggap bahwa kritik yang kita berikan itu bersifat membangun. Namun, kita tidak menyadari bahwa terkadang kritik itu malah akan memperburuk keadaan. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam menghadapi situasi. Segala sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikanlah kritik dengan bijak serta jangan lupa untuk memberikan pujian yang menonjolkan kelebihan / keistimewaannya. 

Saturday, November 10, 2012

CINTA YANG TAK TERSAMPAIKAN


Segalanya berawal ketika saya masih berumur 6 tahun. Ketika saya sedang bermain di halaman rumah saya di California, saya bertemu seorang anak laki-laki. Dia seperti anak laki-laki lainnya yang menggoda saya dan kemudian saya mengejarnya dan memukulnya. Setelah pertemuan pertama dimana saya memukulnya, kami selalu bertemu dan saling memukul satu sama lain di batas pagar itu. Tapi itu tidaklah lama. Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami selalu bersama. Saya menceritakan semua rahasia saya.
Dia sangat pendiam. Dia hanya mendengarkan apa yang saya katakan. Saya menganggap dia menyenangkan untuk diajak bicara dan saya dapat berbicara kepadanya tentang apa saja. Di sekolah, kami memiliki teman-teman yang berbeda tapi ketika kami pulang ke rumah, kami selalu berbicara tentang apa yang terjadi di sekolah.
Suatu hari,saya bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya sukai tetapi telah menyakiti hati saya. Dia menghibur saya dan mengatakan segalanya akan baik-baik saja. Dia memberikan kata-kata yang menghibur,  mendukung dan membantu saya untuk melupakan kesedihanku.
Saya sangat bahagia dan menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya tahu bahwa sesungguhnya ada yang lainnya dari dirinya yang saya suka. Saya memikirkannya malam itu dan memutuskan kalau itu adalah rasa persahabatan. Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan tentu saja saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa ada sesuatu yang lain.
Pada malam kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri-sendiri, sesungguhnya saya menginginkan bahwa sayalah yang menjadi pasangannya.
Malam itu, setelah semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk mengatakannya.
Malam itu adalah kesempatan terbesar yang saya miliki tapi saya hanya duduk di sana dan memandangi bintang bersamanya dan bercakap-cakap tentang cita-cita kami. Saya melihat ke matanya dan mendengarkan ia bercerita tentang impiannya. Bagaimana dia ingin menikah dan sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi orang kaya dan sukses. Yang dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya dan duduk dekat dengan dia.
Saya pulang ke rumah dengan terluka karena saya tidak mengatakan perasaan saya yang sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya tapi saya takut. Saya membiarkan perasaan itu pergi dan berkata kepada diri saya sendiri bahwa suatu hari saya akan mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya.
Selama di universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia selalu bersama-sama dengan seseorang. Setelah lulus, dia mendapatkan pekerjaan di New York. Saya sangat gembira untuknya, tapi pada saat yang sama saya sangat bersedih menyaksikan kepergiannya. Saya sedih karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan besarnya. Jadi, saya menyimpan perasaan saya untuk diri saya sendiri dan melihatnya pergi dengan pesawat. Saya menangis ketika saya memeluknya karena saya merasa seperti ini adalah saat terakhir.
Saya pulang ke rumah malam itu dan menangis. Saya merasa terluka karena saya tidak mengatakan apa yang ada di hati saya.
Saya memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris dan akhirnya menjadi seorang analis komputer. Saya sangat bangga dengan prestasi saya.
Suatu hari saya menerima undangan pernikahan. Undangan itu darinya. Saya bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan. Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya dan kami hanya bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan berikutnya. Itu adalah sebuah peristiwa besar.
Saya bertemu dengan pengantin wanita dan tentu saja juga dengannya. Sekali lagi saya merasa jatuh cinta. Tapi saya bertahan agar tidak mengacaukan apa yang seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi mereka. Saya mencoba bersenang-senang pada malam itu, tapi sangat menyakitkan melihat dia begitu bahagia dan saya mencoba untuk tersenyum menutupi air mata kesedihan yang ada di hati saya.
Saya meninggalkan New York merasa bahwa saya telah melakukan hal yang tepat. Sebelum saya berangkat, tiba-tiba dia muncul dan mengucapkan salam perpisahan dan mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu dengan saya. Saya pulang ke rumah dan mencoba melupakan semua yang terjadi di New York.
Kehidupan saya harus terus berjalan.
Tahun-tahun berlalu. Kami saling menulis surat dan bercerita mengenai segala hal yang terjadi dan bagaimana dia rindu untuk berbicara dengan saya.
Pada suatu ketika, dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat kuatir mengapa dia tidak membalas surat saya meskipun saya telah menulis 6 surat kepadanya.
Ketika semuanya seolah tiada harapan, tiba-tiba saya menerima sebuah catatan kecil yang mengatakan : "Temui saya di pagar di mana kita biasa bercakap-cakap."
Saya pergi ke sana dan melihatnya di sana. Saya sangat bahagia melihatnya tetapi dia sedang patah hati dan bersedih. Kami berpelukan sampai kami kesulitan untuk bernafas.
Kemudian ia menceritakan kepada saya tentang perceraian dan mengapa dia tidak pernah menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai dia tak dapat menangis lagi. Akhirnya kami kembali ke rumah dan bercerita serta tertawa tentang apa yang telah saya lakukan untuk mengisi waktu. Akan tetapi, saya tetap tidak dapat mengatakan kepadanya bagaimana perasaan saya yang sesungguhnya kepadanya.
Hari-hari berikutnya, dia gembira dan melupakan semua masalah dan perceraiannya. Saya jatuh cinta lagi kepadanya. Ketika tiba saatnya dia kembali ke New York, saya menemuinya dan menangis. Saya benci melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui saya setiap kali dia mendapat libur.
Saya tak dapat menunggu saat dia datang agar saya dapat bersamanya karena kami selalu bergembira ketika sedang bersama.
Suatu hari dia tidak muncul sebagaimana yang telah dijanjikan. Saya berpikir bahwa mungkin dia sibuk. Hari berganti bulan dan saya melupakannya.
Suatu hari saya mendapat sebuah telepon dari New York. Pengacara mengatakan bahwa ia telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat perjalanan ke bandara. Hati saya patah. Saya sangat terkejut akan kejadian ini. Sekarang saya tahu mengapa ia tidak muncul hari itu. Saya menangis semalaman.
Air mata kesedihan dan kepedihan. Bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi terhadap seseorang yang begitu baik seperti dia?
Saya mengumpulkan barang-barang saya dan pergi ke New York untuk pembacaan surat wasiatnya. Tentu saja semuanya diberikan kepada keluarganya dan mantan istrinya. Akhirnya saya dapat bertemu dengan mantan istrinya lagi setelah terakhir kali saya bertemu pada pesta pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi mantan suaminya selalu tampak tidak bahagia.
Apapun yang dia kerjakan tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti saat pesta pernikahan mereka. Ketika surat wasiat dibacakan, satu-satunya yang diberikan kepada saya adalah sebuah diary.
Itu adalah diary kehidupannya. Saya menangis karena itu diberikan kepada saya. Saya tak dapat berpikir. Mengapa ini diberikan kepada saya?
Saya mengambilnya dan terbang kembali ke California. Ketika saya di pesawat, saya teringat saat-saat indah yang kami miliki bersama. Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai ketika hari pertama kami berjumpa. Saya terus membaca sampai saya mulai menangis. Diary itu bercerita bahwa dia jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah hati.
Tapi dia takut untuk mengatakannya kepada saya.
Itulah sebabnya mengapa dia begitu diam dan mendengarkan segala perkataan saya. Diary itu menceritakan bagaimana dia ingin mengatakannya kepada saya berkali-kali, tetapi takut. Diary itu bercerita ketika dia ke New York dan jatuh cinta dengan yang lain. Bagaimana dia begitu bahagia ketika bertemu dan berdansa dengan saya di hari pernikahannya. Dia berkata bahwa ia membayangkan bahwa itu adalah pernikahan kami.
Bagaimana dia selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan istrinya. Saat-saat terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf yang saya tulis kepadanya. Akhirnya diary itu berakhir dengan tulisan, "Hari ini saya akan mengatakan kepadanya kalau saya mencintainya"
Itu adalah hari dimana dia terbunuh. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yang sesungguhnya ada dalam hatinya.
Jika engkau mencintai seseorang, mungkin orang tuamu, saudaramu, temanmu, atau siapa pun dia "JANGAN TUNGGU HARI ESOK UNTUK MENGATAKAN KEPADANYA". Karena hari esok itu... mungkin takkan pernah ada….
Sumber :  Chocolatos (dengan perubahan)

Saturday, November 3, 2012

Benih dari CEO


Seorang CEO sedang mencari penggantinya, penerus perusahaan besar, dari antara karyawan terbaiknya.
Untuk itu ia diam-diam telah memanggil seluruh staff eksekutif kantornya yang akan dicalonkan menggantikannya, dan memberikan masing-masing sebutir BENIH. Lalu ia berkata : "Sirami dengan teratur, rawat & kembalikanlah setahun dari sekarang dengan membawa tanaman yang tumbuh dari benih ini. Yang "TERBAIK", akan menjadi penggantiku sebagai CEO perusahaan ini."
Seorang staff bernama Toni, pulang ke rumah dengan benih yang siap dirawat. Setiap hari benih itu ia siram dengan air dan diberinya pupuk. Setelah 6 bulan, di kantor semua saling berbicara tentang tanaman mereka. Hanya Toni yang benihnya tidak tumbuh sama sekali.
Setelah 1 tahun, seluruh staff eksekutif menghadap CEO memperlihatkan hasil benih tersebut. 

Toni merasa gagal.
Masuk ruang meeting, Toni membawa pot kosong. Seluruh mata memandangnya kasihan.
Ketika CEO masuk ruangan ia memandang keindahan seluruh tanaman itu, hingga akhirnya berhenti di depan Toni yg tertunduk malu. Sang CEO memintanya ke depan & menceritakan kronologisnya.
Toni pun lalu menceritakan bahwa dia sudah melakukan yg terbaik untuk merawat benih itu .

Ketika Toni selesai cerita, sang CEO berkata,
"Beri tepuk tangan untuk Toni, dia adalah CEO yang baru, dialah yang terpilih untuk menggantikan saya".
Ia melanjutkan kata-katanya : "Sebenarnya semua benih yang kuberikan kepada kalian, sebelumnya telah saya REBUS DENGAN AIR PANAS hingga mati & tidak mungkin tumbuh lagi. Jika benih kalian dapat tumbuh, berarti entah kalian telah menukarnya atau kalian berbohong padaku, kecuali Toni, hanya dia yang JUJUR".

Sahabat...
Cerita diatas, MENGAJARKAN kita untuk berani bersikap JUJUR apapun akibatnya walaupun terkadang KEJUJURAN itu berbuah "Pahit" sesaat.
Tapi pada waktunya KEJUJURAN itu pasti akan menghasilkan buah yang baik.
Menanggapi suara hati kita dengan apa adanya. Karena apa yang kita tabur, ada saatnya kita akan menuai.
Tabur KEJUJURAN, menuai Kepercayaan...
Tabur KETEKUNAN, menuai Kemenangan...
Tabur KERJA KERAS, menuai Kesuksesan...
Jangan takut menjalani jika itu BENAR
Mari kita belajar meraih kesuksesan dengan KEJUJURAN , untuk Masa Depan yang cemerlang , untuk contoh dan kenangan pada anak-keturunan kita dikemudian hari ...

Saturday, October 20, 2012

Kisah Angulimala, Pembunuh Berkalung Jari Manusia



Semasa hidup Sang Buddha, kota Savatthi merupakan ibukota kerajaan Kosala yang diperintah oleh Raja Pasenadi Kosala. Beliau, putra Maha Raja Kosala, terkenal sebagai seorang raja yang amat pandai, yang memperoleh pendidikan di kota Takkasila.
Setelah menggantikan ayahnya menjadi raja, beliau berhasil memimpin negaranya menjadi makmur, sehingga amat dicintai oleh para menteri dan rakyatnya. Salah seorang menterinya yang bernama Gagga Brahmana, pandai sekali dalam ilmu perbintangan, karena itu ia mendapat kedudukan sebagai peramal.
Gagga Brahmana mempunyai seorang istri bernama Mantani Brahmani. Pada suatu malam, istrinya yang telah mengandung selama sepuluh bulan ini melahirkan seorang putra. Tepat saat sang putra lahir, bulan sedang beredar melintasi sekelompok bintang yang disebut “bintang pencuri” (Cora Nakkhatta), dan pada saat itu pula semua senjata di kota Savatthi mengeluarkan sinar. Demikian juga dengan pedang sang raja yang disimpannya di samping tempat tidurnya.
Gagga Brahmana keluar dari rumahnya, melihat bintang timur dan mengetahui bahwa putranya lahir tepat pada waktu muncul sekelompok “bintang pencuri“ (Cora Nakkhatta). Keesokkan harinya ia pergi menghadap sang raja dan bertanya : “Apakah kemarin malam Baginda dapat tidur atau tidak?” Raja menjawab : “Guru, bagaimana malam itu aku dapat tidur nyenyak dengan semua senjata bersinar? Apakah mungkin akan terjadi bahaya terhadap kerajaan atau pada hidupku?”
Gagga Brahmana berkata : “Baginda, jangan takut. Bersinarnya senjata itu adalah karena kelahiran putraku, bukan karena sebab-sebab lain.” Raja bertanya : “Apakah kelak ia akan menjadi pencuri biasa atau pencuri pengganggu kerajaan?” Dengan maksud mengambil hati sang raja agar beliau tidak memerintahkan untuk membunuh bayi itu, Gagga Brahmana menjawab : “Hanya  menjadi pencuri biasa, Baginda.” Raja berkata : “Kalau hanya pencuri biasa, tak apalah. Ia bagaikan padi Sali ditengah-tengah sawah yang luasnya ribuan hektar.” Selanjutnya raja menganjurkan agar bayi itu dirawat baik-baik.
Pada waktu akan memberikan nama sang bayi, Gagga Brahmana merenungkan peristiwa yang terjadi pada saat bayi dilahirkan dan tentang senjata-senjata yang tidak membahayakan siapa pun, maka bayi itu dinamakannya “Ahimsaka”, artinya “tidak merugikan”. Selanjutnya ia dirawat dengan baik, setelah menjadi dewasa ia disekolahkan di kota Takkasila.
Kota Takkasila yang terletak di pinggir kota Bratavasa, merupakan tempat berkumpulnya para cerdik pandai dan menjadi pusat pendidikan pada masa itu. Siapa pun yang ingin belajar untuk memperoleh pengetahuan sesuai dengan yang diinginkan, baik raja-raja, menteri-menteri, para pegawai, orang kaya maupun pedagang-pedagang dari negara lain; walaupun tempatnya jauh, mereka akan mengirimkan putra-putranya untuk belajar di kota ini.
Ada dua cara untuk memperoleh pendidikan di kota ini, yaitu membayar sendiri dan tinggal bersama dengan guru. Mereka yang tinggal bersama guru harus bekerja. Misalnya mengumpulkan kayu bakar, menimba air, memasak dan sebagainya. Ahimsaka bersekolah dengan cara tinggal bersama guru, yaitu bekerja untuk memdapatkan biaya sekolah.
Ahimsaka amat takut kepada gurunya, ia rajin bekerja dan belajar; bersemangat melayani dan membantu gurunya; berperilaku sopan, berbicara lemah lembut dan ramah. Ia dinilai terbaik diantara murid-murid lainnya, sehingga ia amat disayangi oleh gurunya. Melihat hal ini murid-murid lain menyadari bahwa sejak Ahimsaka berada di sini mereka menjadi tersisihkan. Maka mereka berunding untuk memfitnah dan menjatuhkannya.
Karena perasaan iri yang selalu membakar hati, maka mereka bersama-sama memikirkan cara untuk menjatuhkan Ahimsaka. Akhirnya mereka menemukan suatu cara yang keji dan mereka membagi diri menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menghadap guru dan mengatakan bahwa Ahimsaka bermaksud jahat kepada sang guru. Ketika mereka mengatakan hal itu, sang guru menjadi marah kepada mereka sehingga mereka lari meninggalkan kediaman guru.
Kelompok kedua menghadap guru dengan maksud yang sama pula. Akan tetapi, sang guru masih belum percaya. Kelompok ketiga datang dan mengatakan hal yang sama dengan menambah ceritanya agar dipercaya, sambil berkata : “Bila guru tidak percaya, kita mengharap guru mau merenungkannya. Nanti guru akan mengetahuinya sendiri.” Sang guru merasa ragu-ragu dan berpendapat : “Mungkin mereka itu benar, karena telah beberapa kelompok murid datang dan mengatakan hal yang sama, mungkin mereka tidak bermaksud jahat.” Akhirnya, guru itu memutuskan untuk membunuh Ahimsaka.
Selanjutnya guru itu berpikir : “Apabila aku sendiri yang membunuh Ahimsaka, maka orang-orang akan mengatakan, karena marah murid yang belajar di tempatku agar menjadi pandai telah kubunuh, akibatnya, dikemudian hari tentu tidak ada lagi orang yang mau menjadi muridku. Keuntungan serta kehormatanku akan menjadi lenyap. Sebaiknya aku meminjam tangan orang lain, yaitu menipunya dengan berkata : “Sebelum mendapatkan pelajaran lebih lanjut, engkau harus membunuh 1000 (seribu) orang untuk menambah pengetahuanmu.” Sebelum Ahimsaka dapat membunuh seribu orang, pasti ada orang lain yang dapat melawan dan membunuhnya.”
Setelah guru itu berpikir demikian, ia memanggil Ahimsaka dan menjelaskan hal itu kepadanya. Ahimsaka menjawab : “Guru, keluargaku selalu menjalankan peraturan tidak melukai orang lain, bagaimana aku sendiri dapat berbuat demikian?” Dengan tegas gurunya menjawab : “Bila kau tidak mau melakukannya, bagaimana kau dapat menambah pengetahuanmu dengan baik? Apabila perbuatanitu tidak dilaksanakan, maka pengetahuanmu tidak dapat maju.”
Setelah mendengar perintah itu, Ahimsaka yang amat patuh kepada gurunya membuat keputusan sebagai berikut : “Aku harus pergi dan melaksanakan pekerjaan itu baik-baik.” Ia menyiapkan pakaian dan lima macam senjata; senjata-senjata itu ada yang diikatkan di pinggang dan ada yang dipegang. Kemudian ia memberi hormat pada gurunya dan pergi ke hutan. Ia menunggu di jalan masuk ke hutan, di tengah-tengah hutan dan di jalan keluar dari hutan; siapa pun yang dilihatnya terus dihitung jumlahnya, tetapi ia hanya menghitung mereka dalam hati saja.
Ahimsaka adalah orang bijaksana dan pandai. Sebenarnya ia memiliki daya ingat yang kuat; namun, setelah ia banyak membunuh manusia daya ingatannya menjadi kabur sehingga ia lupa sama sekali berapa jumlah orang yang telah dibunuhnya. Untuk mengingat kembali berapa banyak orang yang telah dibunuhnya, terpaksa ia memotong jari-jari tangan orang yang telah dibunuhnya itu. Jari-jari itu dikumpulkannya di suatu tempat, tetapi jari-jari itu pun hilang. Akhirnya ia membuat untaian kalung yang terdiri dari jari-jari agar dapat dibawa kemana-mana. Karena itu, ia memperoleh nama baru ‘Angulimala’ artinya orang yang memakai untaian kalung jari.
Sebagai tempat tinggalnya, Angulimala berdiam dalam hutan. Ia selalu berpindah-pindah ke seluruh bagian hutan itu. Akibatnya, para pencari kayu bakar menjadi takut, mereka tidak berani masuk ke dalam hutan. Karena tidak melihat seorang pun yang masuk ke dalam hutan, maka pada malam hari Angulimala keluar dari dalam hutan pergi ke desa-desa. Ia mendatangi rumah-rumah penduduk, menendang pintunya sampai roboh, memasuki rumah dan membunuh penghuninya yang sedang tidur; sedangkan penghuni lainnya melarikan diri. Setelah dibunuh, orang itu pun jarinya dipotong dan dibawanya pergi. Karena adanya kejadian ini penduduk desa mengungsi dari desa ke desa lain yang lebih besar dan akhirnya sampai ke ibukota. Para penduduk meninggalkan rumah, membawa sanak keluarga serta harta bendanya, dan mereka tinggal di pinggiran kota Savatthi. Selanjutnya mereka pergi ke alun-alun untuk menyampaikan penderitaan yang telah mereka alami pada sang raja.
Gagga Brahmana mendengar berita tentang kejahatan Angulimala dan penderitaan yang dialami oleh penduduk. Ia menyadari bahwa hal ini ada hubungannya dengan putranya. Ia memberitahu kepada istrinya, Mantani Brahmani, bahwa ada seorang penjahat bernama Angulimala. Ia bukan lain adalah Ahimsaka, putranya sendiri. Tentu saja raja akan menangkapnya. “Apakah yang dapat kita lakukan?” Mantani Brahmana menjawab : “Ada jalan keluar, yaitu, kamu pergi mencari Ahimsaka dan membawanya kemari untuk tinggal bersama kita. Hal ini jangan sampai diketahui oleh orang lain karena nanti ia akan ditangkap.” Gagga Brahmana menolak, karena putranya tidak dapat mengenalnya lagi dan ia takut nanti akan dibunuh olehnya.
Secara naluri, seorang ibu tidak rela apabila melihat anaknya menderita. Demikian pula halnya dengan Mantani Brahmani, ibu Angulimala. Karena cinta kasih yang amat dalam, ia menyadari bahwa satu-satunya orang yang harus menolong anaknya agar terhindar dari mara bahaya adalah dirinya sendiri. Gagga Brahmana menolak untuk mencari Angulimala, maka dengan berani Mantani Brahmani menyatakan bahwa bila Gagga Brahmana tidak mau pergi, ia sendiri yang akan pergi dan walaupun usianya telah lanjut, ia pergi untuk mencari anaknya ke berbagai tempat.
Pada waktu itu Angulimala berada di dalam hutan; ia pergi mengunjungi satu desa ke lain desa yang lebih jauh, yang masih berada dalam wilayah kerajaan Kosala. Badannya berotot kuat, hitam dan dikotori dengan noda-noda darah manusia. Janggut dan kumisnya tumbuh tidak terawat seperti penjahat yang hidup dalam hutan. Ia tidak lagi mempedulikan keindahan, kebersihan, dan kesenangan-kesenangan lain. Hanya satu yang diinginkannya yaitu membunuh manusia sebanyak seribu orang sesuai dengan perintah gurunya. Sekarang ia harus mencari orang yang keseribu untuk dibunuhnya.
Pada waktu itu Sang Buddha sedang berdiam di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, yang dibangun oelh seorang hartawan yang bernama Anathapindika. Bersamaan dengan ibunya, Mantani Brahmani, yang sedang pergi mencarinya, pada hari itu pula Angulimala sedang mencari korban yang keseribu untuk dibunuhnya. Pada hari itu Sang Buddha sedang bersamadhi dalam Gandhakuti untuk melihat makhluk-makhluk yang dapat ditolong. Melalui mata batin, Beliau mengetahui bahwa penjahat Angulimala sedang mencari korban yang keseribu untuk dibunuh dan diambil jarinya. Kemudian Sang Buddha berpikir : “Apabila aku cepat-cepat menyusulnya, maka Angulimala akan selamat. Dalam hutan itu ia akan mendengarkan ajaranku sehingga ia dapat menginsyafi perbuatan yang salah dan perbuatan yang benar. Ia akan memohon untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu dan akan memperoleh enam kekuatan batin luar biasa Abhinna. Tetapi, bila aku tidak pergi ke sana, maka Angulimala akan bertemu dengan ibunya yang sedang mencarinya. Oleh karena kesadaran yang telah kabur akibat penderitaan yang dialaminya, tidur, makan, dan lama hidup dalam hutan, maka ia tidak akan ingat ibunya lagi. Jika ia sampai membunuh ibunya, tidak mungkin ia dapat mengendalikan dirinya lagi. Baiklah, aku akan menolong Angulimala agar ia selamat.”
Dengan membawa mangkuk (patta) dan jubahnya, pada pagi hari itu Sang Buddha pergi ke desa untuk menerima dana makanan (pindapatta). Setelah memperoleh cukup makanan, Beliau pulang dan bersantap. Setelah itu Sang Buddha memberitahukan kepada para bhikkhu bahwa Beliau akan pergi ke desa untuk menolong orang yang dapat ditolong. Dalam perjalanan ini Beliau tidak membawa bhikkhu-bhikkhu lain. Beliau pergi seorang diri melewati jalan yang sering dipergunakan oleh Angulimala untuk menjagal korban-korbannya.
Di sepanjang jalan yang dilaluinya, Sang Buddha bertemu dengan para petani, pengembala sapi dan pengembala kambing yang wajahnya membayangkan ketakutan. Mereka cepat-cepat menghampiri Beliau; ada yang dengan berbisik dan ada yang dengan nafas terengah-engah berkata demikian : “O Samana, Bhikkhu Yang Mulia, janganlah melanjutkan perjalanan-Mu, penjahat Angulimala berada di sana. Ia adalah orang yang kejam, tangannya berlumuran darah, seorang pembunuh. Orang-orang yang telah dibunuh terus di potong jari-jari tangannya untuk dibuat untaian kalung. Siapa pun yang melewati jalan ini akan dibunuhnya. Kami harap Yang Mulia melewati jalan lain saja.”
Sang Bhagava menyampaikan rasa terima kasih-Nya kepada orang-orang yang telah berbuat baik itu, namun Beliau tidak menolak atau menuruti kata-kata mereka. Beliau tetap melanjutkan perjalanan-Nya dengan tenang. Di sepanjang jalan yang dilalui-Nya, kadang-kadang beliau bertemu dengan para petani, penggembala sapi dan penggembala kambing lain yang juga melarang Beliau untuk melanjutkan perjalanan-Nya. Sekali pun berkali-kali Sang Buddha mendapat larangan dan petunjuk-petunjuk, namun Beliau tetap tidak membatalkan perjalanan yang sedang ditempuh-Nya.
Dari kejauhan Angulimala dapat melihat Sang Buddha sedang mendatangi ke arahnya. Ia terkejut dan merasa heran sekali. Biasanya, walau pun berjumlah tiga puluh atau empat puluh orang pun tidak berani lewat di jalan ini karena takut dibunuh. Tetapi, sekarang mengapa sekali pun bhikkhu ini hanya seorang diri berani lewat di jalan ini? Apakah ia datang untuk mengalahkan akau atau untuk membunuh diriku? Kalau begitu aku akan membunuh-Nya lebih dahulu. Setelah berpikir demikian Angulimala menyiapkan pedangnya sambil menunggu Sang Buddha mendekat dan melewatinya. Kemudian dengan diam-diam ia mengikuti Beliau dari belakang.
Sang Buddha yang memiliki kesaktian luar biasa, menciptakan sungai yang lebar dengan gelombang dahsyat untuk menghalangi Angulimala. Angulimala dapat melihat Sang Buddha, Pelindung Dunia (loka natha), hanya berjalan dengan perlahan-lahan dan tenang. Ketika Angulimala yang bermaksud membunuh Sang Buddha melihat ada sungai besar di hadapannya, dengan sekuat tenaga ia berusaha berenang melawan gelombang yang tak putus-putus menghantam dirinya. Akhirnya ia berhasi sampai di seberang walaupun badannya terasa lelah. Ia merangkak, berdiri dan kembali mengejar Sang Buddha.
Selanjutnya Sang Buddha mengubah jalan menjadi hutan lebat yang penuh dengan ponoh-pohon berduri, dang dengan mudah Beliau berjalan memasuki hutan itu. Tetapi ketika Angulimala yang sedang mengejar Sang Buddha tiba di tepi ‘hutan ciptaan’ melihat Beliau keluar dari hutan ciptaan itu, maka Angulimala cepat menyusul Beliau melalui hutan itu tanpa memikirkan kesukaran yang akan dihadapinya. Ia hanya bertujuan untuk membunuh Sang Buddha saja.
Setelah berhasil keluar dari hutan itu Angulimala dihadapkan lagi dengan sungat yang lebar, sehingga terpaksa dengan susah payah ia berenang menyeberangi sungai itu. Sang Buddha menciptakan rintangan-rintangan di daratan maupun di air sepanjang dua kilometer dengan tujuan agar Angulimala menjadi tabah. Sejak melakukan pembunuhan sehingga hampir seribu orang, Angulimala yang berhati keras itu tidak pernah mengalami penderitaan seperti yang dialaminya pada hari ini. Sekarang ia mendapat rintangan yang hebat, keringat dan air liurnya keluar sehingga bibirnya menjadi kering, tenaganya habis dan ia amat lelah karena harus melintasi hutan dan sungai yang lebar untuk mengejar Sang Buddha.
Angulimala berpendapat bahwa ia tidak dapat menyusul Sang Buddha hanya dengan berjalan perlahar-lahan saja. Kemudian ia berusaha berjalan cepat dan bahkan akhirnya berlari. Tetapi ia tetap saja tidak dapat mengejar Sang Buddha yang hanya berjalan perlahan-lahan. Ia merasa heran dan aneh. Sambil berlari ia berpikir : “Aneh, biasanya aku dapat mengejar gajah, kuda atau pun kereta, tetapi bhikkhu yang hanya berjalan perlahan-lahan ini tidak dapat kukejar walau pun aku telah berusaha berlari secepat mungkin. Mengapa aku tidak dapat menyusulnya? Lebih baik kupangil ia berhenti agar dapat kutanyakan mengapa hal ini terjadi. Dengan demikian aku akan mengerti tentang hal itu.”
Setelah berpikir demikian Angulimala berhenti berlari dan ia berteriak senyaring-nyaringnya : “Bhikkhu, berhentilah! Bhikkhuk, berhentilah!” Terdengar jawaban : “Aku telah berhenti, Angulimala. Dirimu sendiri yang belum berhenti. Berhentilah engkau.” Angulimala berpikir : “Bhikkhu Sakyaputta ini adalah orang yang bertekad tidak akan berbohong, tetapi mengapa ia berkata : ‘Aku telah berhenti, Angulimala. Dirimu sendiri yang belum berhenti. Berhentilah engkau,’ sekali pun ia masih berjalan? Kalau begitu aku akan menanyakan hal ini kepada-Nya.”
Maka ia bertanya : “Bhikkhu, selagi berjalan Kau berkata, ‘Aku telah berhenti’ sedangkan dalam kenyataan Kau masih tetap berjalan. Bila demikian, apa yang Kau maksud dengan ‘Aku telah berhenti’ dan dirimu sendiri yang belum berhenti’ itu?” Sang Bhagava menjawab : “O Angulimala, Aku telah berhenti merugikan makhluk-makhluk lain dan senjata-senjata telah Ku buang untuk selama-lamanya. Tetapi kau sendiri belum memikirkan makhluk-makhluk lain, bahkan merugikan dan membunuh mereka. Sebab itulah Kukatakan bahwa ‘Aku telah berhenti’ dan ‘Dirimu sendiri yang belum berhenti’.”
Setelah Sang Buddha berkata demikian, Angulimala menjadi sadar terhadap apa yang telah ia lakukan. Sebenarnya Angulimala adalah orang yang bijaksana serta mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Tetapi sekarang ia menjadi orang yang jahat dan kejam karena pikirannya selalu diarahkan untuk membunuh. Untuk melaksanankan hal itu ia keluar masuk hutan yang lebat, makan dan tidurnya tidak teratur, ia tidak dapat menikmati kebahagiaan karena selalu menderita lahir dan batin, hidupnya jauh dari Dhamma. Pada saat ini ia dapat mendengar kata-kata Sang Buddha yang tepat mengena di hati sanubarinya. Seketika itu juga ia merasa damai dan bahagia. Wajahnya menjadi cerah bagaikan orang yang baru saja istirahat setelah melakukan perjalanan jauh dan selesai mandi di sebuah sungai yang jernih airnya.
Pada waktu Angulimala berdiri, ia merasa heran karena perasaannya menjadi ringan. Ia dapat menyelami dan mengerti sepenuhnya akan kata-kata Sang Buddha yang singkat itu. Seketika itu juga timbulah pengertian dan kesadaran terhadap Dhamma, tentang sebab akibat yang dihasilkan oleh kejahatan dan kebenaran dan terlintaslah dalam pikirannya hal seperti ini : “Mungkin bhikkhu ini adalah Samana Gotama, Pangeran Siddhatta, Putra Mahamaya.” Setelah ia memperhatikan bentuk tubuh Sang Buddha yang halus dan indah, melihat mata Beliau yang memancarkan cinta kasih dan welas asih, Angulimala menjadi yakin bahwa sekarang ini Sang Buddha datang untuk menolong dirinya.
Kemudian Angulimala melemparkan senjata-senjatanya. Ia bersujud dihadapan Sang Buddha dan berkata : “Lama sekali aku baru mendapatkan pertolongan dari Yang Mulia. Setelah mendengar sabda Yang Mulia, maka mulai saat ini dan seterusnya aku akan menghindari segala perbuatan jahatku.” Setelah itu Angulimala mendekati dan bersujud di kaki Beliau, mohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Kemudian Sang Buddha memberikan pentahbisan (upasampada) dengan kata-kata : “Ehi Bhikkhu” “Marilah, bhikkhu” kepada Angulimala, dan membawanya kembali ke vihara Jetavana di kota Savatthi.
Bertepatan pada waktu Sang Buddha membawa bhikkhu Angulimala ke kota Savatthi, di istana, Raja Pasenadi Kosala sedang kesal hatinya memikirkan berita-berita tentang kekejaman dan kebuasan Angulimala. Setelah raja mendapat laporan dari penduduk yang ditimpa kemalangan akibat ulah Angulimala, maka beliau memutuskan untuk pergi sendiri menangkap Angulimala. Sebab, pada zaman itu kepala negara harus bertempur sendiri bersama dengan tentara-tentaranya di medan perang atau untuk menangkap penjahat yang amat berbahaya.
Raja Pasenadi Kosala amat percaya dan setia sekali pada Sang Bhagava, sehingga sebelum pergi menangkap penjahat Angulimala, lebih dahulu ia pergi ke vihara Jetavana menghadap Sang Bhagava dengan pikiran bahwa Sang Bhagava bukan hanya merupakan orang yang dapat menolong untuk kepentingan masa yang akan datang saja, namun juga dapat memberikan pertolongan pada masa sekarang ini. Raja berpikir : “Dalam kepergian kali ini, bila aku selamat Sang Bhagava tentu akan berdiam diri, namun jika kepergianku kali ini tidak selamat, Sang Bhagava tentu akan memberikan kata-kata nasehat yang berharga.”
Ketika mendekati vihara Jetavana, raja menghentikan keretanya di ujung jalan. Kemudian raja turun dari kereta perang dan berjalan kaki menghadap Sang Bhagava. Setelah dekat, raja memberi hormat pada Beliau dan mengambil tempat duduk yang sepantasnya. Demikian pula dengan tentara-tentara yang mengikuti sang raja memberi hormat pada Sang Bhagava.
Pada saat itu Sang Bhagava sedang duduk di tengah-tengah umat. Ketika melihat sang raja telah melepaskan senjata-senjata dari tubuhnya, memberi hormat dan duduk di tempat duduk yang pantas, maka Sang Bhagava bertanya : “Baginda, apakah raja Seniya Bimbisara dari Magadha; Pangeran Licchavi dari kota Vesali marah dengan Baginda, atau raja-raja lain memusuhi Baginda?” Raja Pasenadi Kosala menjawab : “Bhante, tidak ada seorang raja pun yang bermaksud jahat, namun dalam kerajaanku ada seorang penjahat bernama Angulimala. Ia amat kejam, tangannya berlumuran darah, suka membunuh, merugikan penduduk. Ia tidak memiliki cinta kasih atau belas kasihan terhadap siapa pun. Ia mengakibatkan desa-desa menjadi mati, kota-kota menjadi sunyi dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang; memotong jari-jari tangannya untuk dijadikan untaian kalung. Kita bermaksud akan menangkapnya.”
Sang Buddha berkata : “Baginda raja, seandainya Baginda bertemu dengan Angulimala yang telah mencukur rambut dan jenggotnya; mengenakan jubah kuning, melepaskan hidup berumah tangga, menjadi bhikkhu yang menempuh hidup tanpa rumah; menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian, ucapan-ucapan yang tidak benar; makan sehari sekali; menjalankan kehidupan suci; bersusila, sopan santun dan sebagainya; bagaimanakah pandangan Baginda terhadap Angulimala itu? Raja menjawab : “Bhante, jika benar demikian halnya, maka aku akan menghormat beliau, menyambut beliau dengan baik, mengundang dan memperlakukan beliau dengan baik, menyediakan empat kebutuhan pokok (jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan) beliau serta melindungi beliau dengan baik. Tetapi bagaimana seorang yang melanggar sila, berkelakuan jahat seperti Angulimala itu dapat menjalankan sila?”
Kemudian Sang Bhagava mengangkat tangannya dan menunjuk kepada seorang bhikkhu yang berbadan tegap yang sedang duduk tidak jauh sambil berkata : “Baginda raja, itulah Angulimala.” Tentara-tentara yang mengikuti sang raja yang sedang duduk berbaris, melihat ke arah yang ditunjukan tangan Sang Buddha. Setelah menyadari bahwa bhikkhu itu adalah Angulimala, serentak mereka semuanya berlari tanpa memperdulikan keselamatan raja. Mereka menyangka bahwa Angulimala telah mengetahui maksud kedatangan mereka, dan mendahului datang ke vihara untuk membunuh mereka. Mereka semua melarikan diri meninggalkan raja seorang diri yang diliputi perasaan cemas dan khawatir.
Sang Bhagava mengetahui raja merasa cemas, lalu berkata : “Jangan takut, Baginda; sekarang bahaya-bahaya yang ditimbulkan Angulimala telah tiada.” Setelah mendengar kata-kata ini raja Pasenadi Kosala menjadi lega, rasa takutnya hilang. Kemudian raja menghadap Angulimala dan berkata : “Apakah Yang Mulia Angulimala?” Terdengar suara bhikkhu itu dengan jelas dan keras, namun penuh kesopanan : “Baginda raja, saya Angulimala.”
Raja bertanya lebih lanjut : “Orang tua bhante berasal dari suku apa?” Bhikkhu Angulimala menjawab : “Baginda, ayah saya berasal dari suku Gagga dan ibu saya berasal dari Mantani.” Setelah mengetahui hal ini, raja bersedia memberikan empat kebutuhan pokok kepada bhikkhu Angulimala. Oleh karena bhikkhu Angulimala menjalankan tapa (dhutanga), yaitu : tinggal di hutan, hanya makan makanan hasil pindapatta, mengenakan jubah kain pembungkus mayat (pamsukula) dan hanya memiliki seperangkap jubah saja, maka bhikkhu Angulimala berkata : “Baginda, saya sudah memiliki seperangkap jubah, janganlah mengkhawatirkan keadaan saya.”

Kemudian raja Pasenadi Kosala menghadap Sang Bhagava; setelah menghormat dan mengambil tempat duduk yang sepantasnya, raja berkata : “Ajaib sekali, Yang Mulia! Kejadian seperti ini belum pernah terjadi, tetapi sekarang benar-benar telah terjadi. Yang Mulia telah membimbing seorang yang tidak dapat dibimbing oleh orang lain; menaklukkan seorang yang tidak dapat ditenangkan oleh orang lain. Bhikkhu Angulimala tidak dapat dibimbing dengan hukuman ataupun dengan senjata.” Selanjutnya raja mohon diri kembali ke istana untuk menyelesaikan urusan-urusan lain. Setelah Sang Buddha berkenan, raja Pasenadi Kosala meninggalkan tempat duduknya dan memberi hormat dengan berjalan mengitari Beliau tiga kali, kemudian meninggalkan vihara Jetavana.
Bhikkhu Angulimala tinggal di tempat yang kecil dalam vihara Jetavana. Cara hidup baru ini berbeda dengan cara hidup lama. Dahulu dengan senjata ia membunuh orang lain. Sekarang, setelah memperoleh bimbingan dari Sang Buddha, ia melatih kerendahan hati walau diganggu oleh makhluk kecil sekali pun. Air yang dipergunakan dan diminum diperikasa dan disaring lebih dahulu, demi keselamatan binatang-binatang kecil yang hidup dalam air. Ia berhati-hati dalam segala tindakan dan ucapan-ucapannya; bersikap sopan santun agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain; melatih pikirannya untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada banyak orang.
Bhikkhu Angulimala bersikap sedang dalam hal makanan; puas dengan makanan yang diperoleh dari hasil pindapata. Walaupun kadang-kadang hanya memperoleh sedikit makanan atau bahkan tidak memperoleh hasil sama sekali, namun ia tetap sabar dan tidak gelisah. Diceritakan bahwa pada suatu hari bhikkhu Angulimala pergi ke kota Savatthi untuk pindapatta. Di tengah jalan beliau melihat seorang wanita yang sedang mengandung tua, hampir melahirkan anaknya; yang dengan gembira memberikan makanan kepada para bhikkhu. Setelah Angulimala mendekat, wanita itu mengenali bahwa bhikkhu itu adalah Angulimala. Ia merasa terkejut dan takut sehingga ia lupa pada keadaan dirinya. Ia berlari, tetapi malang, ia terbentur pagar dan jatuh.
Bhikkhu Angulimala merasa kasihan pada wanita itu. Namun beliau tidak melihat cara lain untuk dapat menolong wanita itu, selain bertekad dengan sungguh-sungguh, dan dengan suara yang keras agar terdengar oleh wanita itu, beliau berkata : “Saudari, semenjak aku menjalankan kehidupan suci ini, aku tidak pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup apa pun . berkat kebenaran (ucapan) ini, semoga Anda beserta bayi dalam kandungan Anda menjadi selamat adanya.” Setelah kata-kata yang mengandung kebenaran ini selesai diucapkan, wanita itu sadar kembali dan dapat melahirkan anaknya dengan mudah. Ibu maupun bayinya selamat.
Selanjutnya bhikkhu Angulimala menjauhkan diri dari bhikkhu-bhikkhu lainnya, hidup menyendiri berlatih Samadhi dengan sungguh-sungguh. Tak berapa lama kemudian ia berhasil mencapai kesucian tingkat arahat (tingkat kesucian sempurna). Setelah berhasil mencapai kesucian, pada keesokan harinya, dengan mengenakan jubah secara rapi, ia membawa mangkuk (patta) pergi ke kota Savatthi untuk pindapatta. Tiba-tiba segumpal tanah liat, sebatang kayu, pasir yang bercampur kerikil dan batu-batuan yang dilemparkan orang-orang untuk mengusir anjing tanpa sengaja mengenainya, sehingga kepalanya bercucuran darah, mangkuknya pecah serta jubahnya menjadi robek-robek. Walaupun demikian bhikkhu Angulimala tetap berjalan dengan tenang, sabar terhadap perasaan sakit yang menyengat itu. Ia berjalan pulang menghadap Sang Buddha dengan kepala bercucuran darah.
Sang Buddha, Maha Guru, Yang Melihat, Yang Penuh Kasih Sayang terhadap semua makhluk melihat Angulimala berjalan dari kejauhan, berkata kepada Yang Mulia Angulimala demikian : “Brahmana, tahankanlah! Tahankanlah, Brahmana! Sekarang engkau merasakan akibat perbuatan-perbuatanmu; yang seharusnya dapat menyebabkan dirimu sengsara dalam alam neraka selama ratusan tahun bahkan selama ribuan tahun.” Akibat luka-luka yang dideritanya, tak lama kemudian Angulimala meninggal dunia, mencapai kebebasan sempurna (parinibbana).
Sumber : Kisah Angulimala terjemahan Y.M T.C.K. Phra Vidhurdhammabhorn

Friday, August 31, 2012

A Miracle


Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar mama dan papa berbicara tentang adik kecilnya, Georgi. Georgi sakit keras dan mereka telah melakukan semua yang bisa mereka usahakan untuk menyelamatkan hidupnya. Hanya sebuah operasi yang sangat mahal yang dapat menolongnya sekarang… dan keluar menjadi masalah keuangan. Sally mendengar papa berbisik mengatakan hal itu dalam keterputusasaan, “Hanya sebuah keajaiban yang dapat menyelamatkannya sekarang.”
Sally pergi ke kamarnya dan mengeluarkan celengan dari tempat persembunyiannya di dalam lemari. Dia mengguncang semua isi celengan itu ke lantai dan menghitungnya dengan teliti. Tiga kali. Jumlahnya pasti benar. Tidak mungkin salah. Koin-koin itu diikat dalam sebuah saputangan tua, lalu dia menyelinap keluar dari apartemen dan berjalan ke toko obat di sudut jalan. Dia menunggu dengan sabar agar apoteker memperhatikannya. Namun, apoteker itu terlalu sibuk berbicara dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berjalan sambil menyeretkan kakinya untuk menarik perhatian apoteker itu. Dia berdehem. Tidak berguna. Akhirnya dia mengambil uang koin-koinnya dan melemparkannya ke meja kaca apoteker. Berhasil! “Dan apa yang Anda inginkan?” apoteker itu bertanya dengan nada ketus. “Saya sedang berbicara dengan adik saya.”
“Aku juga ingin berbicara dengan Anda tentang adikku,” jawab Sally dengan nada yang sama ketusnya.
“Dia sedang sakit… dan aku ingin membeli keajaiban.”
“Apa?”
“Papaku berkata hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya sekarang… jadi berapa harga sebuah keajaiban?”
“Kami tidak menjual keajaiban di sini, gadis kecil. Saya tidak bisa membantumu.”
“Dengar, aku punya uang untuk membayarnya. Katakan padaku berapa harganya.”
Pria berpakaian rapi membungkuk dan bertanya, “Keajaiban apa yang dibutuhkan adikmu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Sally. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku hanya tahu kalau dia sedang sakit keras dan Mama berkata dia harus dioperasi. Tapi kami tidak mampu membayarnya… jadi aku menggunakan uangku.”
“Berapa yang kamu punya?” tanya pria itu.
“1 dollar 11 sen,” Sally menjawab dengan bangga. “Dan itu adalah semua uang yang aku miliki di dunia.”
“Wah, kebetulan sekali,” pria itu tersenyum. 1 dollar 11 sen… harga yang tepat untuk sebuah keajaiban. Dia mengambil uang itu dan menggandeng tangan gadis kecil itu dan berkata, “Antar saya ke rumahmu. Saya ingin melihat adikmu dan bertemu orang tuamu.”
Pria berpakaian rapi itu adalah dr. Carlton Armstrong, ahli bedah terkenal yang menyembuhkan penyakit Georgi. Operasi berjalan lancar tanpa biaya sepeser pun dan tak lama kemudian Georgi sudah bisa pulang ke rumah dan menjalani hidup yang normal.
Mama dan Papa sangat senang berbicara tentang peristiwa istimewa itu. “Operasi itu,” bisik Mama. “Itu seperti sebuah keajaiban. Aku ingin tahu berapa harganya.”
Sally tersenyum. Dia tahu dengan pasti berapa harga sebuah keajaiban… 1 dollar 11 sen… ditambah keyakinan seorang gadis kecil.
Sumber : LKS Bahasa Inggris untuk SMA/MA Kelas XI Semester 2 Mitra Pustaka
Terjemahan bebas oleh Krystella Huda

Friday, August 17, 2012

Sabda Hyang Buddha Tentang Sutra Ullambana

Pada suatu ketika, Hyang Buddha tinggal di Shravasti, di hutan Jeta di Taman Anathapindika. Di antara 10 siswa utama Hyang Buddha, terdapat Maha Maudgalyayana yang baru memiliki 6 macam kekuatan batin (Sad Abhijna). Beliau mengingat orang tuanya yang telah meninggal dunia dan berkeinginan membebaskan mereka dari kesengsaraan sebagai balas-budi atas jasa-jasa orang tuanya. Oleh karena itu, dengan menggunakan mata-batinnya, ia mengamati seluruh alam semesta dan melihat ibunya terlahir di antara setan-setan kelaparan. Karena ibunya terlalu lama tidak mendapatkan makanan dan minuman, maka hanya kulit yang membalut tulang di tubuhnya, sungguh menyedihkan! Melihat hal ini, timbul rasa kasihan dalam diri Maha Maudgalyayana. Beliau mengisi patranya dengan makanan dan memberikannya kepada sang ibu. Sang ibu menerimanya. Ia menutupi nasi tersebut dengan telapak tangan kirinya karena takut setan kelaparan lainnya merebut makanannya dan dengan tangan kanan mengambil segenggam makanan. Tetapi betapa malangnya, sebelum makanan masuk ke dalam mulutnya, makanan tersebut berubah menjadi arang yang membara dan ia pun tidak dapat memakannya. Kemudian api keluar dari mulutnya dan membakar tubuhnya hingga tewas. Melihat hal ini, Maha Maudgalyayana berteriak sekeras-kerasnya dan dengan sedih meneteskan air mata. Ia berpikir bahwa walaupun dirinya telah melatih diri dan telah mencapat tingkat kesucian, tetapi ia tidak mampu menyelamatkan ibunya dari alam setan kelaparan. Dengan keadaan ini, sebagai seorang anak ia merasa sedih dan tidak berdaya. Ia bergegas kembali ke tempat Hyang Buddha berada untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
                Maudgalyayana menceritakan apa yang terjadi pada ibunya kepada Hyang Buddha dan memohon Hyang Buddha menunjukkan jalan agar dapat menolong ibunya. Setelah mendengarkannya, Hyang Buddha berkata, “Karma buruk yang dimiliki oleh ibumu sangatlah berat dan telah berakar dalam. Dengan kekuatan kamu sendiri tidak akan mampu mengakhiri semua ini. Walaupun rasa baktimu mampu menggetarkan langit dan bumi, namun dewa bumi, dewa langit, penganut ajaran lain, para brahmana bahkan Raja adikuasa dari surga Catur Maharajika dan sebagainya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membantu.”
Saat Maudgalyayana sangat terpukul hatinya dan air matanya terus bercucuran tak henti-hentinya, Hyang Buddha bersabda, “Kekuatan spiritual perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru yang mengagumkan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kebebasan dari penderitaan ini. Sekarang akan Aku uraikan cara yang membawa keselamatan bagi semua dari penderitaan serta dapat memberantas semua rintangan karma.” Hyang Buddha bersabda kepada Maudgalyayana, “Bulan ke-7 hari ke-15 penanggalan lunar adalah Hari Pravarana Sangha atau disebut juga Hari Kebahagiaan Para Buddha, hari berakhirnya masa vassa bagi perkumpulan Sangha di sepuluh penjuru. Untuk kepentingan 7 generasi orang tua di kehidupan yang lampau, dan juga ayah dan ibu di kehidupan sekarang yang hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka engkau harus menyediakan dan mempersembahkan nasi dan bermacam-macam sayur-mayur, dupa, minyak, pelita, perlengkapan istirahat, dan semua barang terbaik untuk dipersembahkan kepada perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru. Pada hari itu, seluruh anggota Sangha baik yang sedang bermeditasi di gunung-gunung, yang telah mencapai tingkat kesucian yang ke-4, yang sedang berjalan di bawah pohon-pohon, atau yang telah memperoleh Sad Abhijna dan sedang menjalankan kewajiban mengajarkan Dharma luhur kepada para Sravaka atau para Pratyeka Buddha di berbagai daerah, Bodhisatva-Mahasatva yang berstatus Dasa-Bhumiya (Sepuluh Tingkat Bumi) dapat menjelmakan dirinya sebagai Bhiksu, Bhiksuni, dan berbaur di dalam Perkumpulan Sangha. Rombongan Arya tersebut datang ke tempat suci itu, bukan hanya berniat mengambil sedekah makanan atau sesajian belaka, tetapi mereka akan mempergunakan kewibawaan, kemampuan, dan kebajikan yang telah diperoleh dari perilaku Sila suci mereka. Jasa-jasa agung itu mereka limpahkan kepada para leluhur atau kedua orang tua dermawan baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Barang siapa yang mengadakan persembahan Sangha ini, maka kedua orang tuanya yang masih hidup dan leluhurnya yang telah meninggal dari 7 generasi di masa silam, dan juga 6 jenis kerabat dekatnya akan terlepas dari 3 Alam Samsara. Pada saat mereka dibebaskan, secara spontanitas mereka akan mendapatkan pakaian dan makanan. Jika orang tuanya masih hidup, mereka akan mendapatkan umur panjang dan tubuh yang sehat. Para leluhur dari 7 generasi di masa silam akan terlahir kembali di alam bahagia secara spontanitas, mereka akan bisa dengan bebas memasuki sinar mandarawa surga dan hidup dengan penuh kebahagiaan.”
Pada hari Pravarana Sangha dan upacara Ullambana yang diadakan oleh Maha Maudgalyayana, Hyang Buddha mengumumkan dan meminta para Bhiksu, Bhiksuni, dan para Sravaka Sangha yang berada di berbagai daerah agar semua berkumpul, guna mengadakan ritual pembacaan mantra serta pelimpahan jasa kepada orang tua para dermawan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal berserta 7 generasi leluhur di masa silam. Seusai meditasi barulah mereka menerima dana dan makanan beserta sajian lain yang sebelumnya diletakkan di altar Buddha di vihara atau pagoda atau dikelilingi pada Stupa Buddha. Setelah perkumpulan Sangha selesai membaca doa, mereka baru menerima dana tersebut.
Pada saat upacara Ullambana itu selesai, Maha Maudgalyayana bersama para Bhiksu, Bhiksuni, para Bodhisatva-Mahasatva semua merasa amat senang dan gembira. Mulai saat itu perasaan dukacita Maha Maudgalyayana lenyap. Pada saat itu juga, ibu Maudgalyayana terbebas dari satu kalpa penderitan di alam Setan-Kelaparan. Lalu Maha Maudgalyayana kembali berkata kepada Hyang Buddha, “Sekarang ibu saya sudah terlepas dari alam setan kelaparan karena diberkati oleh kekuatan jasa kebajikan dari Tri Ratna beserta kewibawaan dan kebajikan Perkumpulan Sangha. Di masa yang akan datang, jika ada murid-murid Hyang Buddha yang ingin menyelamatkan orang tua atau ayah-ibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam, dapatkah mereka menggunakan cara yang sama dengan memberikan persembahan kepada Sangha seperti pada upacara Ullambana ini?”
Hyang Buddha, menjawab, “Sadhu! Sadhu! Sadhu! Saya sangat senang mendengar pertanyaanmu. Sesungguhnya hal-hal yang demikian penting itu telah siap Kuuraikan kepada para umat sekalian, akan tetapi perhatiaanmu telah mendahului-Ku. Wahai orang-orang yang berbudi, apabila terdapat Bhiksu, Bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat jelata berhasrat ingin berbakti, membalas budi kepada orang tua yang telah melahirkan mereka ataupun 7 generasi orang tua di masa silam, iba hati kepada para makhluk sengsara, mereka boleh menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu yang jatuh setiap tanggal 15 bulan 7 Lunar, mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada perkumpulan Sangha yang datang dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda  mereka yang masih hidup mendapat umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan orang tua mereka yang telah meninggal beserta 7 generasi ayah-ibu dari masa yang lampau itu dapat keluar dari alam Setan-Kelaparan atau alam Samsara lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam manusia atau di alam bahagia, hidup dengan penuh kebahagiaan.” Hyang Buddha kembali bersabda, “Barang siapa yang ingin berbakti kepada leluhurnya serta kedua orang tua yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal dunia, mereka seyogyanya senantiasa mengingat kedua orang tua yang masih hidup atau yang sudah meninggal itu. Setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Lunar mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha, melimpahkan jasa kepada orang tua mereka di kehidupan sekarang dan 7 generasi orang tua di masa silam, guna membalas budi mereka, yang telah berjasa pernah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Demikianlah, semoga semua murid-murid Hyang Buddha dapat menghayati Dharma yang sangat berarti ini.” Pada saat itu, Bhiksu Maudgalyayana beserta keempat kelompok murid-murid Buddha merasa bergembira setelah mendengarkan khotbah Hyang Buddha. Mereka bertekad untuk mempraktikkannya.

Saturday, August 11, 2012

Hikmah Cek John D. Rockfeller

Seorang pebisnis yang usahanya terancam bangkrut terlilit utang dan merasa berada di jalan buntu. Para kreditor terus mengejar. Suplayer menagih utang. Pikirannya kalut dan dia duduk di kursi taman, kedua tangannya memegang kepalanya, dan bertanya-tanya, bagaimana caranya menyelamatkan perusahaannya.
Tiba-tiba seorang kakek mendekatinya dan berkata, “Saya rasa Anda sedang punya masalah.”
Kakek itu lalu duduk di sebelah pebisnis dan mendengarkan dengan penuh perhatian keluh kesahnya.
“Rasanya saya bisa membantu Anda,” kata kakek itu sesudah si pebisnis selesai bicara.
Ia lalu mengambil buku cek, menanyakan nama pebisnis tersebut dan meletakkan cek ke tangan pebisnis sambil berkata,
“Ambillah uang ini. Temui saya di sini tepat setahun sesudah hari ini. Saat itu, Anda akan bisa membayar saya.”
Sesudah itu, kakek itu berdiri dari kursi dan lenyap  secepat dia datang.
Pebisnis itu melihat cek di tangannya yang bernilai 500.000 dolar, ditandatangani John D. Rockfeller, salah satu orang terkaya di dunia pada saat itu.
Si pebisnis itu sadar, bisa menghilangkan kecemasan keuangannya dalam sekejap. Tapi ia memutuskan tak akan menguangkan cek tersebut dan disimpan di lemari besi. Tahu punya uang sebanyak itu membernya kekuatan mencari jalan keluar menyelamatkan usahanya.
Optimisme pebisnis itu segera bangkit kembali. Ia merundingkan pembayaran utang yang lebih baik dan memperpanjang jangka waktu pembayaran. Dia berhasil melakukan beberapa penjualan besar. Dalam beberapa bulan, utangnya berhasil dilunasi dan ia kembali mendapatkan keuntungan.
Tepat setahun kemudian, pebisnis itu kembali ke taman dengan cek yang belum diuangkan. Kakek itu muncul pada jam yang dijanjikan setahun lalu. Ketika akan mengembalikan cek dan menceritakan kisah suksesnya, seorang perawat lari menghampiri mereka dan dengan segera menggandeng tangan kakek tersebut.
“Saya sangat senang bisa menangkapnya,” katanya. “Saya harap dia tidak mengganggu Anda. Dia selalu lari dari rumah perawatan dan bilang kepada orang-orang, dia John D. Rockfeller,” tambahnya.
Selesai bicara, perawat itu menggandeng tangan kakek tersebut untuk diajak pulang.
Pebisnis itu terkesima, terpaku diam membisu sambil memegang cek di tangan. Sepanajng tahun dia melakukan perundingan rumit, membeli dan menjual, yakin dia punya setengah juta dolar di tangan. Ia mendadak sadar, riil atau pun khayalan, bukan uang itu yang membuat usahanya bangkit lagi. Tapi rasa percaya diri yang baru ditemukannya, yang memberinya kekuatan untuk mengejar segala sesuatu yang diinginkannya.

Friday, July 27, 2012

Permata Berharga Si Burung Kecil

Alkisah, tersebutlah seekor burung dengan kicauan merdu yang hidup di sebuah taman indah. Setiap hari burung tersebut mengicaukan senandung paling merdu, memuji dan memuja Sang Maha Pencipta dan menyenangkan semua orang yang mendengarkannya.
Taman tersebut dirawat seorang tukang kebun yang serakah. Suatu hari, si tukang kebun membuat perangkap dan berhasil menangkap burung tersebut. Burung kecil itu memohon dibebaskan dan berjanji akan memberitahu tiga rahasia yang paling penting.
Karena sangat serakah, tukang kebun pun segera melepaskan si burung kecil. Sesuai janji, burung kecil itu lalu menyampaikan tiga rahasia tersebut.
Pertama, jangan pernah percaya semua yang Anda dengar.
Kedua, jangan menyesali kehilangan sesuatu yang tak pernah dimiliki.
Ketiga, jangan pernah melepaskan sesuatu yang ada dalam genggaman karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain dan belum pasti.
Sesudah mendengar ketiga saran tersebut, si tukang kebun sangat marah. Dia sudah tahu rahasia tersebut sejak kecil.
“Dasar curang. Tak bisa dipercaya. Kamu menipu saya!” teriaknya berang.
“Jika kamu benar-benar tahu ketiga rahasia ini, terutama rahasia ketiga, kamu pasti tak akan melepasakan saya,” kata burung kecil tenang.
“Di dalam badan saya ada 3 ons permata yang paling berharga. Siapa pun yang memiliki permata ini, apa pun permintaannya akan dikabulkan,” lanjutnya.
Mendengar hal ini, si tukang kebun makin meradang dan menyumpahi dirinya sendiri karena telah melepaskan burung tersebut. Si burung dengan tenangnya menjelaskan, berat badannya kurang dari setengah ons. Semua orang yang bisa melihat pasti tahu, mustahil ada 3 ons permata tersembunyi di dalam badan sekecil itu.
Si tukang kebun makin marah, lalu mengambil galah dan mengayunkannya ke burung kecil. Segera si burung kecil terbang ke pohon tinggi dan kembali menambahkan,
“Kamu tak pernah memiliki permata tersebut di tangan tapi menyesal karena kehilangan permata itu. Dan kamu melepaskan saya karena percaya pada kata-kata saya.”
Sebelum terbang pergi, si burung kecil berpesan kepada tukang kebun, untuk mencamkan baik-baik ketiga rahasia ini dan menjadi orang yang bijaksana.

Thursday, July 19, 2012

Seni Berbicara


Y.A Maha Bhiksu Dutavira Sthavira (Suhu Benny)  

Demikian pentingnya seni berbicara, seorang guru besar yang bernama Yi Lin Fa Shi menceritakan kisah seorang petani yang telah menolong seekor anak beruang yang tercebur di sebuah selokan. Ibu beruang selalu mengingat budi petani itu. Karena itu, ketika desa tempat tinggal petani mengalami kebanjiran dan petani mengungsi ke atas bukit, bertemu kembali dengan keluarga beruang, mereka dengan senang hati memberikan penginapan dan pelayanan yang baik untuk petani. Bahkan ibu beruang meminta maaf apa bila ada pelayanan mereka yang tidak memuaskan. Petani mengatakan, bahwa pelayanan mereka sangat baik tetapi ia tidak tahan dengan bau tubuh beruang itu. Ibu beruang tidak marah, ia meminjam kapak petani dan memukul kepalanya sendiri dengan kapak itu, kemudian mengembalikannya kepada petani. Selang beberapa lama kemudian, saat mereka bertemu kembali dan petani bertegur sapa dengan beruang itu, petani baru menyadari ternyata hati beruang itu terluka karena perkataannya waktu itu.
Teman se-Dharma, dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan simpatik, kita tidak hanya harus berbaik hati, ringan tangan membantu orang lain, akan tetapi kita harus memperhatikan pula cara berkomunikasi . Sungguh sayang, bila kita berbuat karma baik, akan tetapi cara bicara kita menyakitkan orang, sehingga perbuatan baik kita diterima, namuh orang tidak menghargai, bahkan membenci kita. Bila orang bersimpati kepada kita, maka kita akan mudah mendapatkan dukungan, sehingga bertambahlah jalan untuk sukses.
Orang yang berhati tidak baik umumnya mudah mengobral janji dan berkata manis yang berlebihan. Jangan karena serakah, kita terlena dan tidak melihat fakta, sehingga tertipu, pandai-pandailah menyimak pembicaraan orang, apakah ia mempunyai maksud tertentu? Demikianlah orang dapat tertipu karena ucapan yang manis, orang bisa sakit hati karena kata-kata yang menyakitkan. Untuk itu ada 4 tips seni berbicara :
Dalam menyampai maksud, bila ekspresi lawan bicara tidak memperhatikan, maka jangan diteruskan.
Ketika menyampaikan maksud, ciptakan kondisi yang menyenangkan.
Menyampaikan maksud kepada orang lapangan atau orang yang sibuk, lebih baik to the point/sesederhana mungkin.
Menyampaikan maksud kepada pelajar harus mengunakan ilustrasi.
Sumber : Pencerahan Batin oleh Y.A Maha Bhiksu Dutavira Sthavira (Suhu Benny).

Popular Posts