Pages

Friday, August 31, 2012

A Miracle


Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar mama dan papa berbicara tentang adik kecilnya, Georgi. Georgi sakit keras dan mereka telah melakukan semua yang bisa mereka usahakan untuk menyelamatkan hidupnya. Hanya sebuah operasi yang sangat mahal yang dapat menolongnya sekarang… dan keluar menjadi masalah keuangan. Sally mendengar papa berbisik mengatakan hal itu dalam keterputusasaan, “Hanya sebuah keajaiban yang dapat menyelamatkannya sekarang.”
Sally pergi ke kamarnya dan mengeluarkan celengan dari tempat persembunyiannya di dalam lemari. Dia mengguncang semua isi celengan itu ke lantai dan menghitungnya dengan teliti. Tiga kali. Jumlahnya pasti benar. Tidak mungkin salah. Koin-koin itu diikat dalam sebuah saputangan tua, lalu dia menyelinap keluar dari apartemen dan berjalan ke toko obat di sudut jalan. Dia menunggu dengan sabar agar apoteker memperhatikannya. Namun, apoteker itu terlalu sibuk berbicara dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berjalan sambil menyeretkan kakinya untuk menarik perhatian apoteker itu. Dia berdehem. Tidak berguna. Akhirnya dia mengambil uang koin-koinnya dan melemparkannya ke meja kaca apoteker. Berhasil! “Dan apa yang Anda inginkan?” apoteker itu bertanya dengan nada ketus. “Saya sedang berbicara dengan adik saya.”
“Aku juga ingin berbicara dengan Anda tentang adikku,” jawab Sally dengan nada yang sama ketusnya.
“Dia sedang sakit… dan aku ingin membeli keajaiban.”
“Apa?”
“Papaku berkata hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya sekarang… jadi berapa harga sebuah keajaiban?”
“Kami tidak menjual keajaiban di sini, gadis kecil. Saya tidak bisa membantumu.”
“Dengar, aku punya uang untuk membayarnya. Katakan padaku berapa harganya.”
Pria berpakaian rapi membungkuk dan bertanya, “Keajaiban apa yang dibutuhkan adikmu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Sally. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku hanya tahu kalau dia sedang sakit keras dan Mama berkata dia harus dioperasi. Tapi kami tidak mampu membayarnya… jadi aku menggunakan uangku.”
“Berapa yang kamu punya?” tanya pria itu.
“1 dollar 11 sen,” Sally menjawab dengan bangga. “Dan itu adalah semua uang yang aku miliki di dunia.”
“Wah, kebetulan sekali,” pria itu tersenyum. 1 dollar 11 sen… harga yang tepat untuk sebuah keajaiban. Dia mengambil uang itu dan menggandeng tangan gadis kecil itu dan berkata, “Antar saya ke rumahmu. Saya ingin melihat adikmu dan bertemu orang tuamu.”
Pria berpakaian rapi itu adalah dr. Carlton Armstrong, ahli bedah terkenal yang menyembuhkan penyakit Georgi. Operasi berjalan lancar tanpa biaya sepeser pun dan tak lama kemudian Georgi sudah bisa pulang ke rumah dan menjalani hidup yang normal.
Mama dan Papa sangat senang berbicara tentang peristiwa istimewa itu. “Operasi itu,” bisik Mama. “Itu seperti sebuah keajaiban. Aku ingin tahu berapa harganya.”
Sally tersenyum. Dia tahu dengan pasti berapa harga sebuah keajaiban… 1 dollar 11 sen… ditambah keyakinan seorang gadis kecil.
Sumber : LKS Bahasa Inggris untuk SMA/MA Kelas XI Semester 2 Mitra Pustaka
Terjemahan bebas oleh Krystella Huda

Friday, August 17, 2012

Sabda Hyang Buddha Tentang Sutra Ullambana

Pada suatu ketika, Hyang Buddha tinggal di Shravasti, di hutan Jeta di Taman Anathapindika. Di antara 10 siswa utama Hyang Buddha, terdapat Maha Maudgalyayana yang baru memiliki 6 macam kekuatan batin (Sad Abhijna). Beliau mengingat orang tuanya yang telah meninggal dunia dan berkeinginan membebaskan mereka dari kesengsaraan sebagai balas-budi atas jasa-jasa orang tuanya. Oleh karena itu, dengan menggunakan mata-batinnya, ia mengamati seluruh alam semesta dan melihat ibunya terlahir di antara setan-setan kelaparan. Karena ibunya terlalu lama tidak mendapatkan makanan dan minuman, maka hanya kulit yang membalut tulang di tubuhnya, sungguh menyedihkan! Melihat hal ini, timbul rasa kasihan dalam diri Maha Maudgalyayana. Beliau mengisi patranya dengan makanan dan memberikannya kepada sang ibu. Sang ibu menerimanya. Ia menutupi nasi tersebut dengan telapak tangan kirinya karena takut setan kelaparan lainnya merebut makanannya dan dengan tangan kanan mengambil segenggam makanan. Tetapi betapa malangnya, sebelum makanan masuk ke dalam mulutnya, makanan tersebut berubah menjadi arang yang membara dan ia pun tidak dapat memakannya. Kemudian api keluar dari mulutnya dan membakar tubuhnya hingga tewas. Melihat hal ini, Maha Maudgalyayana berteriak sekeras-kerasnya dan dengan sedih meneteskan air mata. Ia berpikir bahwa walaupun dirinya telah melatih diri dan telah mencapat tingkat kesucian, tetapi ia tidak mampu menyelamatkan ibunya dari alam setan kelaparan. Dengan keadaan ini, sebagai seorang anak ia merasa sedih dan tidak berdaya. Ia bergegas kembali ke tempat Hyang Buddha berada untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
                Maudgalyayana menceritakan apa yang terjadi pada ibunya kepada Hyang Buddha dan memohon Hyang Buddha menunjukkan jalan agar dapat menolong ibunya. Setelah mendengarkannya, Hyang Buddha berkata, “Karma buruk yang dimiliki oleh ibumu sangatlah berat dan telah berakar dalam. Dengan kekuatan kamu sendiri tidak akan mampu mengakhiri semua ini. Walaupun rasa baktimu mampu menggetarkan langit dan bumi, namun dewa bumi, dewa langit, penganut ajaran lain, para brahmana bahkan Raja adikuasa dari surga Catur Maharajika dan sebagainya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membantu.”
Saat Maudgalyayana sangat terpukul hatinya dan air matanya terus bercucuran tak henti-hentinya, Hyang Buddha bersabda, “Kekuatan spiritual perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru yang mengagumkan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kebebasan dari penderitaan ini. Sekarang akan Aku uraikan cara yang membawa keselamatan bagi semua dari penderitaan serta dapat memberantas semua rintangan karma.” Hyang Buddha bersabda kepada Maudgalyayana, “Bulan ke-7 hari ke-15 penanggalan lunar adalah Hari Pravarana Sangha atau disebut juga Hari Kebahagiaan Para Buddha, hari berakhirnya masa vassa bagi perkumpulan Sangha di sepuluh penjuru. Untuk kepentingan 7 generasi orang tua di kehidupan yang lampau, dan juga ayah dan ibu di kehidupan sekarang yang hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka engkau harus menyediakan dan mempersembahkan nasi dan bermacam-macam sayur-mayur, dupa, minyak, pelita, perlengkapan istirahat, dan semua barang terbaik untuk dipersembahkan kepada perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru. Pada hari itu, seluruh anggota Sangha baik yang sedang bermeditasi di gunung-gunung, yang telah mencapai tingkat kesucian yang ke-4, yang sedang berjalan di bawah pohon-pohon, atau yang telah memperoleh Sad Abhijna dan sedang menjalankan kewajiban mengajarkan Dharma luhur kepada para Sravaka atau para Pratyeka Buddha di berbagai daerah, Bodhisatva-Mahasatva yang berstatus Dasa-Bhumiya (Sepuluh Tingkat Bumi) dapat menjelmakan dirinya sebagai Bhiksu, Bhiksuni, dan berbaur di dalam Perkumpulan Sangha. Rombongan Arya tersebut datang ke tempat suci itu, bukan hanya berniat mengambil sedekah makanan atau sesajian belaka, tetapi mereka akan mempergunakan kewibawaan, kemampuan, dan kebajikan yang telah diperoleh dari perilaku Sila suci mereka. Jasa-jasa agung itu mereka limpahkan kepada para leluhur atau kedua orang tua dermawan baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Barang siapa yang mengadakan persembahan Sangha ini, maka kedua orang tuanya yang masih hidup dan leluhurnya yang telah meninggal dari 7 generasi di masa silam, dan juga 6 jenis kerabat dekatnya akan terlepas dari 3 Alam Samsara. Pada saat mereka dibebaskan, secara spontanitas mereka akan mendapatkan pakaian dan makanan. Jika orang tuanya masih hidup, mereka akan mendapatkan umur panjang dan tubuh yang sehat. Para leluhur dari 7 generasi di masa silam akan terlahir kembali di alam bahagia secara spontanitas, mereka akan bisa dengan bebas memasuki sinar mandarawa surga dan hidup dengan penuh kebahagiaan.”
Pada hari Pravarana Sangha dan upacara Ullambana yang diadakan oleh Maha Maudgalyayana, Hyang Buddha mengumumkan dan meminta para Bhiksu, Bhiksuni, dan para Sravaka Sangha yang berada di berbagai daerah agar semua berkumpul, guna mengadakan ritual pembacaan mantra serta pelimpahan jasa kepada orang tua para dermawan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal berserta 7 generasi leluhur di masa silam. Seusai meditasi barulah mereka menerima dana dan makanan beserta sajian lain yang sebelumnya diletakkan di altar Buddha di vihara atau pagoda atau dikelilingi pada Stupa Buddha. Setelah perkumpulan Sangha selesai membaca doa, mereka baru menerima dana tersebut.
Pada saat upacara Ullambana itu selesai, Maha Maudgalyayana bersama para Bhiksu, Bhiksuni, para Bodhisatva-Mahasatva semua merasa amat senang dan gembira. Mulai saat itu perasaan dukacita Maha Maudgalyayana lenyap. Pada saat itu juga, ibu Maudgalyayana terbebas dari satu kalpa penderitan di alam Setan-Kelaparan. Lalu Maha Maudgalyayana kembali berkata kepada Hyang Buddha, “Sekarang ibu saya sudah terlepas dari alam setan kelaparan karena diberkati oleh kekuatan jasa kebajikan dari Tri Ratna beserta kewibawaan dan kebajikan Perkumpulan Sangha. Di masa yang akan datang, jika ada murid-murid Hyang Buddha yang ingin menyelamatkan orang tua atau ayah-ibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam, dapatkah mereka menggunakan cara yang sama dengan memberikan persembahan kepada Sangha seperti pada upacara Ullambana ini?”
Hyang Buddha, menjawab, “Sadhu! Sadhu! Sadhu! Saya sangat senang mendengar pertanyaanmu. Sesungguhnya hal-hal yang demikian penting itu telah siap Kuuraikan kepada para umat sekalian, akan tetapi perhatiaanmu telah mendahului-Ku. Wahai orang-orang yang berbudi, apabila terdapat Bhiksu, Bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat jelata berhasrat ingin berbakti, membalas budi kepada orang tua yang telah melahirkan mereka ataupun 7 generasi orang tua di masa silam, iba hati kepada para makhluk sengsara, mereka boleh menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu yang jatuh setiap tanggal 15 bulan 7 Lunar, mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada perkumpulan Sangha yang datang dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda  mereka yang masih hidup mendapat umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan orang tua mereka yang telah meninggal beserta 7 generasi ayah-ibu dari masa yang lampau itu dapat keluar dari alam Setan-Kelaparan atau alam Samsara lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam manusia atau di alam bahagia, hidup dengan penuh kebahagiaan.” Hyang Buddha kembali bersabda, “Barang siapa yang ingin berbakti kepada leluhurnya serta kedua orang tua yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal dunia, mereka seyogyanya senantiasa mengingat kedua orang tua yang masih hidup atau yang sudah meninggal itu. Setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Lunar mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha, melimpahkan jasa kepada orang tua mereka di kehidupan sekarang dan 7 generasi orang tua di masa silam, guna membalas budi mereka, yang telah berjasa pernah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Demikianlah, semoga semua murid-murid Hyang Buddha dapat menghayati Dharma yang sangat berarti ini.” Pada saat itu, Bhiksu Maudgalyayana beserta keempat kelompok murid-murid Buddha merasa bergembira setelah mendengarkan khotbah Hyang Buddha. Mereka bertekad untuk mempraktikkannya.

Saturday, August 11, 2012

Hikmah Cek John D. Rockfeller

Seorang pebisnis yang usahanya terancam bangkrut terlilit utang dan merasa berada di jalan buntu. Para kreditor terus mengejar. Suplayer menagih utang. Pikirannya kalut dan dia duduk di kursi taman, kedua tangannya memegang kepalanya, dan bertanya-tanya, bagaimana caranya menyelamatkan perusahaannya.
Tiba-tiba seorang kakek mendekatinya dan berkata, “Saya rasa Anda sedang punya masalah.”
Kakek itu lalu duduk di sebelah pebisnis dan mendengarkan dengan penuh perhatian keluh kesahnya.
“Rasanya saya bisa membantu Anda,” kata kakek itu sesudah si pebisnis selesai bicara.
Ia lalu mengambil buku cek, menanyakan nama pebisnis tersebut dan meletakkan cek ke tangan pebisnis sambil berkata,
“Ambillah uang ini. Temui saya di sini tepat setahun sesudah hari ini. Saat itu, Anda akan bisa membayar saya.”
Sesudah itu, kakek itu berdiri dari kursi dan lenyap  secepat dia datang.
Pebisnis itu melihat cek di tangannya yang bernilai 500.000 dolar, ditandatangani John D. Rockfeller, salah satu orang terkaya di dunia pada saat itu.
Si pebisnis itu sadar, bisa menghilangkan kecemasan keuangannya dalam sekejap. Tapi ia memutuskan tak akan menguangkan cek tersebut dan disimpan di lemari besi. Tahu punya uang sebanyak itu membernya kekuatan mencari jalan keluar menyelamatkan usahanya.
Optimisme pebisnis itu segera bangkit kembali. Ia merundingkan pembayaran utang yang lebih baik dan memperpanjang jangka waktu pembayaran. Dia berhasil melakukan beberapa penjualan besar. Dalam beberapa bulan, utangnya berhasil dilunasi dan ia kembali mendapatkan keuntungan.
Tepat setahun kemudian, pebisnis itu kembali ke taman dengan cek yang belum diuangkan. Kakek itu muncul pada jam yang dijanjikan setahun lalu. Ketika akan mengembalikan cek dan menceritakan kisah suksesnya, seorang perawat lari menghampiri mereka dan dengan segera menggandeng tangan kakek tersebut.
“Saya sangat senang bisa menangkapnya,” katanya. “Saya harap dia tidak mengganggu Anda. Dia selalu lari dari rumah perawatan dan bilang kepada orang-orang, dia John D. Rockfeller,” tambahnya.
Selesai bicara, perawat itu menggandeng tangan kakek tersebut untuk diajak pulang.
Pebisnis itu terkesima, terpaku diam membisu sambil memegang cek di tangan. Sepanajng tahun dia melakukan perundingan rumit, membeli dan menjual, yakin dia punya setengah juta dolar di tangan. Ia mendadak sadar, riil atau pun khayalan, bukan uang itu yang membuat usahanya bangkit lagi. Tapi rasa percaya diri yang baru ditemukannya, yang memberinya kekuatan untuk mengejar segala sesuatu yang diinginkannya.

Popular Posts