Tuesday, December 25, 2012
Arti Sebuah Ketulusan
Alkisah, di suatu daerah
terpencil hiduplah seorang ibu & anak gadisnya yang tunggal. Ibu ini sangat
bersyukur karena mempunyai anak gadis yang sangat cantik, namun demikian mereka
berdua tinggal dalam keadaan yang serba berkekurangan.
Sekalipun dalam keadaan seperti
itu mereka menjalani hari demi hari dengan sukacita, sampai pada suatu waktu
ibu ini jatuh sakit.
Menyadari sakitnya yang parah dan
tidak mungkin disembuhkan, ia memanggil anak gadisnya yang semata wayang itu.
Ia tahu bahwa waktunya akan tiba, ia tidak akan lama tinggal di dunia ini.
Sehari sebelumnya, ia berpikir
dengan keras bagaimana ia harus meninggalkan anak satu-satunya, apalagi ia
seorang gadis dan berparas cantik, timbul kekhawatiran dalam hatinya seseorang
akan mencelakai atau memanfaatkan anaknya itu.
Karena itu kepada anak gadisnya,
ibu ini berpesan, “Engkau tahu anakku, penyakit ibu yang sangat parah ini tak
mungkin lagi untuk disembuhkan. Waktu ibu tidak akan lama anakku, sebenarnya
ibu juga tidak rela meninggalkan engkau hidup sendirian, tetapi engkau tahu
anakku, ternyata Tuhan mempunyai kehendak lain atas hidup kita, namun demikian
anakku, ibu telah menuliskan 3 surat yang harus engkau baca setelah ibu tiada."
“Bacalah satu persatu surat itu,
dari surat pertama, dan setelah engkau mengerjakan apa yang ditulis, barulah
engkau membaca surat yang kedua, dan surat yang terakhir bacalah setelah engkau
mengerjakan apa yang tertulis dalam kedua surat itu, atau engkau sudah bisa
menguburkan jasad ibumu ini, jika engkau belum bisa mengerjakan apa yang
tertulis dalam surat pertama dan kedua jangan engkau baca surat yang ketiga.”
Beberapa hari setelah memberi
pesan itu, ibu ini meninggal. Demikian anak gadis ini menuruti perintah ibunya,
dibacanya surat yang pertama. Dalam surat ini ibunya berpesan, "Anakku
engkau tahu kita hidup dalam kemiskinan bahkan ketika ibu sudah tiada ibu tahu
engkau tidak mempunyai cukup uang untuk menguburkan jasad ibumu ini, karena itu
anakku, pergilah engkau ke tempat yang ramai, berkerumun banyak orang, dan
bawalah jasad ibumu ini, baringkan ibu di atas sebuah tikar, dan buatlah 2 buat
kain seperti umbul-umbul yang bertuliskan siapa yang berkenan menguburkan
ibuku, jika ia perempuan aku akan bersedia mengangkat ia sebagai saudara atau
bekerja untuknya dan jika ia laki-laki aku akan bersedia menjadi pendampingnya.
Dan taruhlah 2 umbul-umbul ini di depan di sebelah kiri dan kanan jasad ibu,
dan engkau duduklah didekat kaki ibumu ini."
Maka perintah ini segera
dikerjakan oleh anaknya itu. Karena keingintahuan apa yang diperbuat gadis ini,
banyak orang berduyun-duyun menghampiri gadis ini. Apa yang terjadi dengan
dia?, siapakah yang meninggal ini? Dan banyak lagi pertanyaan lain berdatangan.
Mendengar penjelasan gadis ini
banyak orang jatuh iba atas kejadian yang menimpanya. Beberapa orang malah
ingin menyumbangkan uangnya untuk gadis ini. Tetapi ia menolak, katanya, "Ibuku
hanya berpesan siapa yang bisa menguburkan ibuku ini aku akan mengangkatnya
sebagai saudara jika ia perempuan, dan jika lelaki aku akan menikah
dengannya."
Beberapa orang menjadi keheranan dengan
gadis ini, banyak komentar miring diberikan juga pada gadis ini, "Apakah
ia tidak kasihan dengan keadaan ibunya yang seperti itu?", "Bukankah
uang itu bisa digunakan untuk menguburkan ibunya?"
Disana ada juga banyak pemuda,
bahkan lelaki yang sudah beristri ingin membantunya. Salah seorang itu berkata,
"Hai, lihat gadis ini sangat cantik, sekalipun nampak berpakaian lusuh. Aku
mau membiayai penguburan ibumu, tetapi setelah itu engkau harus menepati
janjimu." Gadis ini mengangguk tanda setuju.
"Jika demikiaan penguburan
seperti apa yang kau kehendaki?" tanya pemuda itu. Maka gadis ini membaca
surat kedua ibunya, setelah itu memberikannya pada pemuda itu. Dengan cepat ia
mengambil surat itu dan membacanya, sejenak pemuda ini tertegun. Lalu ia mengembalikan
surat itu kepada si gadis dan pergi begitu saja. Beberapa pemuda datang silih
berganti, tetapi mereka semua pun pergi seperti pemuda yang pertama itu.
Hari itu ibu gadis itu belum
dikuburkan karena belum ada yang menyanggupi syarat penguburan ibunya itu.
Esok harinya hal yang terjadi
kemarin pun terulang lagi. Sampai pada siang hari datanglah seorang lelaki yang
terlihat sudah agak berumur. Banyak orang terlihat segan dengan laki-laki ini.
Ia adalah salah seorang yang kaya raya di daerah itu. Ia juga dikenal sampai ke
daerah seberang, ia mempunyai istri lebih dari satu.
Demi melihat kecantikan gadis
ini, ia pun menjumpai gadis ini, katanya, "Kamu tahu apa pun permintaanmu
akan aku turuti asal kau mau menjadi istriku." Gadis ini berkata, "Aku
tidak menginginkan apapun tetapi jikalau kamu bisa menguburkan ibuku ini, aku
mau menjadi istrimu." Dengan tertawa keras ia mengambil surat ibu gadis
itu, dan dibacanya. Ia sangat kaget, air mukanya pun berubah seketika.
Kepada gadis itu, laki-laki ini
berkata, “Kamu dan ibumu adalah orang yang tidak tahu diri, kamu kira ibumu ini
siapa sehingga aku harus menguburkannya dengan kuburan dari emas? Kamu tahu, raja-raja
pun tidak sanggup melakukan ini. Pasti ibumu ini sudah gila." Dan ia pergi
meninggalkan gadis itu dengan terus mengolok-olok gadis itu. Hari sudah menjadi
petang, ibu gadis ini masih belum ada yang menguburkan.
Keesokkan harinya keadaan tidak
sama seperti dua hari kemarin, banyak orang bergerombol menjauhi gadis ini,
sambil bergunjing. Mereka menganggap gadis ini gila harta bahkan ada yang
menganggapnya kurang waras.
Dari kejauhan nampak seorang
pemuda berjalan menyusuri jalan di dekat gadis itu membaringkan jasad ibunya.
Sepanjang jalan itu pemuda ini mendengar gunjingan orang tentang gadis ini.
Sampai pada akhirnya pemuda ini menghentikan langkah kakinya di samping gadis
itu.
"Apa yang sedang kau
kerjakan disini adik? Jasad siapa ini? Apakah ini salah satu sanak
saudaramu?", tanya pemuda itu.
"Oh bukan, ini jasad
ibuku", jawab gadis itu.
"Jika demikian, mengapakah
kamu tidak menguburkannya?" sekali lagi pemuda ini bertanya.
"Aku tidak mempunyai cukup
uang untuk membiayai penguburan ibuku, ini pesan dari ibuku sebelum beliau
meninggal," gadis itu menyodorkan surat ibunya kepada pemuda itu.
Setelah membaca surat itu, pemuda
ini tertegun sejenak, lalu berkata, "Adik, aku pun tidak bisa menguburkan
ibumu ini dengan cara demikian, tetapi aku mempunyai beberapa uang, aku kira
ini lebih dari cukup untuk menguburkan ibumu, lihatlah keadaan ibumu ini adik,
sudah tiga hari beliau meninggal, dan sudah mulai berbau, ambillah uang ini dan
kuburkan ibumu ini, aku tidak menuntut apapun atas uang ini kepadamu."
Mendengar perkataan pemuda itu,
hati gadis ini tersentuh oleh kebaikan pemuda ini, dan ia berpikir bahwa
perkataan pemuda ini benar, ibunya sudah meninggal tiga hari dan mulai berbau,
tidak baik dan tidak berbakti jika jasad
ibunya rusak sebelum dikuburkan. Setelah berterima kasih kepada pemuda itu, ia
menerima uang itu dan bersama pemuda itu mempersiapkan penguburan ibunya.
Setelah pemakaman itu, hari sudah
mulai petang, kepada gadis itu pemuda ini berkata, "Adik, dimanakah
rumahmu?"
Jawab gadis itu, "Rumahku
tidak jauh dari sini, kelihatannya engkau seperti seorang perantau, jika engkau
bersedia menginaplah malam ini dirumahku."
Pemuda ini menjawab, "Adik,
aku ini seorang perantau sudah terbiasa aku berpetualang, malam ini aku akan
meneruskan perjalananku."
Mendengar perkataan pemuda itu,
gadis ini mengambil surat yang ketiga dari ibunya di saku bajunya. Setelah ia
membaca surat itu, ia menyodorkan surat itu kepada pemuda itu, sambil berkata,
"Sebenarnya ibuku meninggalkan 3 pesan sebelum ia meninggal, pesan pertama
sudah aku kerjakan dan pesan yang kedua juga sudah aku kerjakan karena
pertolonganmu, sekalipun tidak sesuai dengan keinginan ibu di surat kedua,
sekarang ini adalah surat ibuku yang ketiga, maukah engkau
mengabulkannya?"
Setelah menerima surat itu,
pemuda ini membacanya, surat ini berisi pesan terakhir ibu gadis itu, "Anakku,
ini adalah surat ibu yang ketiga, ibu hanya ingin mengatakan kepadamu, jika ada
seorang yang mau menguburkan jasad ibumu ini dengan cara apapun, engkau ikutlah
bersama dia, dan jika dia seorang laki-laki dan bersedia mendampingimu,
hiduplah bersamanya dengan berbahagia, salam kasih dari ibumu."
Singkat cerita gadis dan pemuda
ini hidup sebagai pasangan yang berbahagia.
"Tahukah apa perbedaan
antara orang-orang yang pertama kali hendak memberi uang (menyumbang) kepada
gadis itu dan orang muda yang tulus hati itu?" Orang yang pertama kali
hendak memberi, ia mau memberi karena rasa iba, sedang pemuda itu memberi
dengan kasih yang tulus. Memberi dengan rasa iba, ketika pemberian itu ditolak
karena alasan lain, masih bisa timbul sakit hati dan bergunjing, tetapi memberi
dengan kasih yang tulus sekalipun mendapat penolakan, ia tidak sakit hati,
tetapi tetap mengasihi dan memberi dorongan, nasehat dan semangat sebagai
seorang saudara. Sedang orang berikutnya yang hendak membantu gadis ini, adalah
orang yang mau membantu hanya karena pamrih. "Harga sebuah ketulusan tidak
bisa dinilai dengan emas dan banyaknya harta."
Dipos oleh Dola Indahsari di
Bodhi Leaf Group
Monday, December 17, 2012
Mana yang Lebih Baik? Kritik atau Pujian???
Seorang pegawai Bank baru saja dimutasi dari kantor pusat ke kantor cabang di sebuah kota kecil. Suatu hari, anaknya sakit sehingga ia harus membeli obat. Di kota kecil itu hanya ada satu apotek. Karena letaknya di kota kecil, apotek tersebut langsung dilayani oleh pemilikinya. Ketika ia membeli obat di sana, ia sangat kecewa dengan pelayanan dari pemilik apotek tersebut.
Kemudian ia mengeluh kepada atasannya mengenai pelayanan buruk yang ia alami di apotek itu. Ia meminta pada atasannya untuk menyampaikan kritiknya pada pemilik apotek agar kejadian itu tidak terulang lagi padanya maupun pelanggan lainnya.
Beberapa hari kemudian pegawai Bank itu harus kembali membeli obat di apotek itu. Setiba di apotek ia sangat terkejut dan heran. Pemilik apotek menyambutnya dengan senyum lebar sambil mengatakan betapa senangnya ia melihat pegawai Bank itu berkenan datang kembali ke apoteknya dan berharap ia beserta keluarganya menyukai kota mereka.
Bukan hanya itu, pemilik apotek itu bahkan menawarkan diri membantu pegawai itu menguruskan berbagai hal agar dia dan keluarganya dapat menetap di kota itu dengan nyaman. Setelah itu, ia pun mengirimkan apa yang dipesan pegawai itu dengan cepat dan baik.
Pegawai itu bingung sekaligus merasa senang dengan perubahan luar biasa yang ditunjukkan oleh pemilik apotek itu. Lalu, ia memberitahukan hal itu kepada atasannya dan berterima kasih, "Anda tentu sudah menyampaikan kritik saya mengenai betapa buruk pelayanannya waktu itu. Terima kasih banyak. Sekarang pelayanannya sudah jauh lebih baik. Saya sangat puas."
"Oh, tidak," jawab atasannya. "Sebenarnya saya tidak menyampaikan kritik Anda pada pemilik apotek itu. Saya harap Anda tidak keberatan. Saya mengatakan betapa Anda terkagum-kagum padanya karena dapat mendirikan apotek di kota kecil ini serta menjual obat-obatan yang lengkap. Dan Anda merasa apoteknya merupakan salah satu apotek dengan pelayanan terbaik yang pernah Anda temui."
Moral Cerita :
Terkadang kita senang memberi kritikan dibandingkan dengan pujian. Serta menganggap bahwa kritik yang kita berikan itu bersifat membangun. Namun, kita tidak menyadari bahwa terkadang kritik itu malah akan memperburuk keadaan. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam menghadapi situasi. Segala sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikanlah kritik dengan bijak serta jangan lupa untuk memberikan pujian yang menonjolkan kelebihan / keistimewaannya.
Saturday, November 10, 2012
CINTA YANG TAK TERSAMPAIKAN
Segalanya berawal ketika
saya masih berumur 6 tahun. Ketika
saya sedang bermain di halaman rumah saya di California, saya bertemu seorang
anak laki-laki. Dia seperti anak laki-laki lainnya yang menggoda saya dan
kemudian saya mengejarnya dan memukulnya. Setelah pertemuan pertama dimana saya
memukulnya, kami selalu bertemu dan saling memukul satu sama lain di batas
pagar itu. Tapi itu tidaklah lama. Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami
selalu bersama. Saya menceritakan semua rahasia saya.
Dia sangat pendiam.
Dia hanya mendengarkan apa yang saya katakan. Saya menganggap dia menyenangkan
untuk diajak bicara dan saya dapat berbicara kepadanya tentang apa saja. Di sekolah, kami
memiliki teman-teman yang berbeda tapi ketika kami pulang ke rumah, kami
selalu berbicara tentang apa yang terjadi di sekolah.
Suatu hari,saya
bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya sukai tetapi telah
menyakiti hati saya. Dia menghibur saya dan mengatakan segalanya akan baik-baik saja. Dia memberikan
kata-kata yang menghibur, mendukung dan membantu saya untuk melupakan kesedihanku.
Saya sangat bahagia
dan menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya tahu bahwa sesungguhnya ada
yang lainnya dari dirinya yang saya suka. Saya memikirkannya malam itu dan memutuskan kalau
itu adalah rasa persahabatan. Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu
bersama dan tentu saja saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh
di lubuk hati, saya tahu bahwa ada sesuatu yang lain.
Pada malam
kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri-sendiri, sesungguhnya saya
menginginkan bahwa sayalah yang menjadi pasangannya.
Malam itu, setelah
semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk mengatakannya.
Malam itu adalah
kesempatan terbesar yang saya miliki tapi saya hanya duduk di sana dan
memandangi bintang bersamanya dan bercakap-cakap tentang cita-cita kami. Saya
melihat ke matanya dan mendengarkan ia bercerita tentang impiannya. Bagaimana
dia ingin menikah dan sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi
orang kaya dan sukses. Yang dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya
dan duduk dekat dengan dia.
Saya pulang ke
rumah dengan terluka karena saya tidak mengatakan perasaan saya yang
sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya tapi
saya takut. Saya membiarkan perasaan itu pergi dan berkata kepada diri saya sendiri
bahwa suatu hari saya akan mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya.
Selama di
universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia selalu bersama-sama
dengan seseorang. Setelah lulus, dia mendapatkan pekerjaan di New York. Saya sangat
gembira untuknya, tapi pada saat yang sama saya sangat bersedih menyaksikan
kepergiannya. Saya sedih karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan
besarnya. Jadi, saya menyimpan perasaan saya untuk diri saya sendiri dan melihatnya
pergi dengan pesawat. Saya menangis ketika saya memeluknya karena saya merasa seperti ini
adalah saat terakhir.
Saya pulang ke
rumah malam itu dan menangis. Saya merasa terluka karena saya tidak mengatakan
apa yang ada di hati saya.
Saya memperoleh
pekerjaan sebagai sekretaris dan akhirnya menjadi seorang analis komputer. Saya sangat
bangga dengan prestasi saya.
Suatu hari saya
menerima undangan pernikahan. Undangan itu darinya. Saya bahagia dan sedih pada
saat yang bersamaan. Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya dan kami hanya
bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan berikutnya. Itu
adalah sebuah peristiwa besar.
Saya bertemu dengan
pengantin wanita dan tentu saja juga dengannya. Sekali lagi saya merasa
jatuh cinta. Tapi saya bertahan agar tidak mengacaukan apa yang seharusnya
menjadi hari paling bahagia bagi mereka. Saya mencoba bersenang-senang pada malam itu, tapi
sangat menyakitkan melihat dia begitu bahagia dan saya mencoba untuk tersenyum menutupi air
mata kesedihan yang ada di hati saya.
Saya meninggalkan
New York merasa bahwa saya telah melakukan hal yang tepat. Sebelum saya berangkat, tiba-tiba dia muncul dan
mengucapkan salam perpisahan dan mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu
dengan saya. Saya pulang ke rumah dan mencoba melupakan semua yang terjadi di New
York.
Kehidupan saya
harus terus berjalan.
Tahun-tahun
berlalu. Kami
saling menulis surat dan bercerita mengenai segala hal yang terjadi dan
bagaimana dia rindu untuk berbicara dengan saya.
Pada suatu ketika,
dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat kuatir mengapa dia tidak
membalas surat saya meskipun saya telah menulis 6 surat kepadanya.
Ketika semuanya
seolah tiada harapan, tiba-tiba saya menerima sebuah catatan kecil yang
mengatakan : "Temui saya di pagar di mana kita biasa bercakap-cakap."
Saya pergi ke sana
dan melihatnya di sana. Saya sangat bahagia melihatnya tetapi dia sedang patah
hati dan bersedih. Kami berpelukan sampai kami kesulitan untuk bernafas.
Kemudian ia
menceritakan kepada saya tentang perceraian dan mengapa dia tidak pernah
menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai dia tak dapat menangis lagi.
Akhirnya kami kembali ke rumah dan bercerita serta tertawa tentang apa yang telah saya lakukan untuk mengisi waktu. Akan
tetapi, saya tetap tidak dapat mengatakan kepadanya bagaimana perasaan saya
yang sesungguhnya kepadanya.
Hari-hari
berikutnya,
dia gembira dan melupakan semua masalah dan perceraiannya. Saya jatuh cinta
lagi kepadanya. Ketika tiba saatnya dia kembali ke New York, saya menemuinya
dan menangis. Saya benci melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui
saya setiap kali dia mendapat libur.
Saya tak dapat
menunggu saat dia datang agar saya dapat bersamanya
karena kami
selalu bergembira ketika sedang bersama.
Suatu hari dia tidak
muncul sebagaimana yang telah dijanjikan. Saya berpikir bahwa mungkin dia
sibuk. Hari berganti bulan dan saya melupakannya.
Suatu hari saya
mendapat sebuah telepon dari New York. Pengacara mengatakan bahwa ia telah
meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat perjalanan ke bandara. Hati saya patah. Saya sangat terkejut akan
kejadian ini. Sekarang saya tahu mengapa ia tidak muncul hari itu. Saya
menangis semalaman.
Air mata kesedihan
dan kepedihan. Bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi terhadap seseorang
yang begitu baik seperti dia?
Saya mengumpulkan
barang-barang saya dan pergi ke New York untuk pembacaan surat wasiatnya. Tentu
saja semuanya diberikan kepada keluarganya dan mantan istrinya. Akhirnya saya
dapat bertemu dengan mantan istrinya lagi setelah terakhir kali saya bertemu
pada pesta pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi mantan suaminya selalu
tampak tidak bahagia.
Apapun yang dia
kerjakan tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti saat pesta pernikahan
mereka. Ketika surat wasiat dibacakan, satu-satunya yang diberikan kepada saya
adalah sebuah diary.
Itu adalah diary kehidupannya. Saya menangis karena
itu diberikan kepada saya. Saya tak dapat berpikir. Mengapa ini diberikan
kepada saya?
Saya mengambilnya
dan terbang kembali ke California. Ketika saya di pesawat, saya teringat saat-saat
indah yang kami miliki bersama. Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai
ketika hari pertama kami berjumpa. Saya terus membaca sampai saya mulai
menangis. Diary itu bercerita bahwa dia
jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah hati.
Tapi dia takut
untuk mengatakannya kepada saya.
Itulah sebabnya
mengapa dia begitu diam dan mendengarkan segala perkataan saya. Diary itu menceritakan bagaimana dia
ingin mengatakannya kepada saya berkali-kali, tetapi takut. Diary itu bercerita ketika dia ke New
York dan jatuh cinta dengan yang lain. Bagaimana dia begitu bahagia ketika
bertemu dan berdansa dengan saya di hari pernikahannya. Dia berkata bahwa ia
membayangkan bahwa itu adalah pernikahan kami.
Bagaimana dia
selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan istrinya. Saat-saat
terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf yang saya
tulis kepadanya. Akhirnya diary itu berakhir
dengan tulisan, "Hari ini saya akan mengatakan kepadanya kalau saya
mencintainya…"
Itu adalah hari
dimana dia terbunuh. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yang
sesungguhnya ada dalam hatinya.
Jika engkau
mencintai seseorang, mungkin orang
tuamu, saudaramu, temanmu, atau siapa pun dia "JANGAN
TUNGGU HARI ESOK UNTUK MENGATAKAN KEPADANYA". Karena
hari esok itu... mungkin takkan pernah ada….
Sumber : Chocolatos (dengan perubahan)
Saturday, November 3, 2012
Benih dari CEO
Seorang CEO sedang
mencari penggantinya, penerus perusahaan besar, dari antara karyawan
terbaiknya.
Untuk itu ia diam-diam telah memanggil seluruh
staff eksekutif kantornya yang akan dicalonkan menggantikannya, dan memberikan
masing-masing sebutir BENIH. Lalu ia berkata : "Sirami dengan teratur,
rawat & kembalikanlah setahun dari sekarang dengan membawa tanaman yang
tumbuh dari benih ini. Yang "TERBAIK", akan menjadi
penggantiku sebagai CEO perusahaan ini."
Seorang staff bernama Toni, pulang ke rumah dengan benih yang siap dirawat.
Setiap hari benih itu ia siram dengan air dan diberinya pupuk. Setelah 6 bulan,
di kantor semua saling berbicara tentang tanaman mereka. Hanya Toni yang benihnya
tidak tumbuh sama sekali.
Setelah 1 tahun, seluruh staff eksekutif menghadap CEO memperlihatkan hasil
benih tersebut.
Toni merasa gagal.
Masuk ruang meeting, Toni membawa pot kosong. Seluruh mata memandangnya
kasihan.
Ketika CEO masuk ruangan ia memandang keindahan seluruh tanaman itu, hingga
akhirnya berhenti di depan Toni yg tertunduk malu. Sang CEO memintanya ke depan
& menceritakan kronologisnya.
Toni pun lalu menceritakan bahwa dia sudah melakukan yg terbaik untuk merawat benih itu .
Ketika Toni selesai cerita, sang CEO berkata,
"Beri tepuk tangan untuk Toni, dia adalah CEO yang baru,
dialah yang terpilih untuk menggantikan saya".
Ia melanjutkan kata-katanya : "Sebenarnya semua benih yang
kuberikan kepada kalian, sebelumnya telah saya REBUS DENGAN AIR PANAS hingga
mati & tidak mungkin tumbuh lagi. Jika benih kalian dapat tumbuh, berarti
entah kalian telah menukarnya atau kalian berbohong padaku, kecuali Toni, hanya
dia yang JUJUR".
Sahabat...
Cerita diatas, MENGAJARKAN kita untuk berani bersikap JUJUR apapun akibatnya
walaupun terkadang KEJUJURAN itu berbuah "Pahit" sesaat.
Tapi pada waktunya KEJUJURAN itu pasti akan menghasilkan buah yang baik.
Menanggapi suara hati kita dengan apa adanya. Karena apa yang kita tabur, ada
saatnya kita akan menuai.
Tabur KEJUJURAN, menuai Kepercayaan...Tabur KETEKUNAN, menuai Kemenangan...Tabur KERJA KERAS, menuai Kesuksesan...Jangan takut menjalani jika itu BENAR
Mari kita belajar meraih kesuksesan dengan KEJUJURAN , untuk Masa Depan yang cemerlang
, untuk contoh dan kenangan pada anak-keturunan kita dikemudian hari ...
Saturday, October 20, 2012
Kisah Angulimala, Pembunuh Berkalung Jari Manusia
Semasa hidup Sang Buddha, kota Savatthi merupakan ibukota kerajaan Kosala yang diperintah oleh Raja Pasenadi Kosala. Beliau, putra Maha Raja Kosala, terkenal sebagai seorang raja yang amat pandai, yang memperoleh pendidikan di kota Takkasila.
Setelah menggantikan ayahnya
menjadi raja, beliau berhasil memimpin negaranya menjadi makmur, sehingga amat
dicintai oleh para menteri dan rakyatnya. Salah seorang menterinya yang bernama
Gagga Brahmana, pandai sekali dalam ilmu perbintangan, karena itu ia mendapat
kedudukan sebagai peramal.
Gagga Brahmana mempunyai seorang
istri bernama Mantani Brahmani. Pada suatu malam, istrinya yang telah
mengandung selama sepuluh bulan ini melahirkan seorang putra. Tepat saat sang
putra lahir, bulan sedang beredar melintasi sekelompok bintang yang disebut
“bintang pencuri” (Cora Nakkhatta),
dan pada saat itu pula semua senjata di kota Savatthi mengeluarkan sinar.
Demikian juga dengan pedang sang raja yang disimpannya di samping tempat
tidurnya.
Gagga Brahmana keluar dari
rumahnya, melihat bintang timur dan mengetahui bahwa putranya lahir tepat pada
waktu muncul sekelompok “bintang pencuri“ (Cora Nakkhatta). Keesokkan harinya ia
pergi menghadap sang raja dan bertanya : “Apakah kemarin malam Baginda dapat
tidur atau tidak?” Raja menjawab : “Guru, bagaimana malam itu aku dapat tidur
nyenyak dengan semua senjata bersinar? Apakah mungkin akan terjadi bahaya
terhadap kerajaan atau pada hidupku?”
Gagga Brahmana berkata :
“Baginda, jangan takut. Bersinarnya senjata itu adalah karena kelahiran
putraku, bukan karena sebab-sebab lain.” Raja bertanya : “Apakah kelak ia akan
menjadi pencuri biasa atau pencuri pengganggu kerajaan?” Dengan maksud
mengambil hati sang raja agar beliau tidak memerintahkan untuk membunuh bayi
itu, Gagga Brahmana menjawab : “Hanya
menjadi pencuri biasa, Baginda.” Raja berkata : “Kalau hanya pencuri
biasa, tak apalah. Ia bagaikan padi Sali
ditengah-tengah sawah yang luasnya ribuan hektar.” Selanjutnya raja
menganjurkan agar bayi itu dirawat baik-baik.
Pada waktu akan memberikan nama
sang bayi, Gagga Brahmana merenungkan peristiwa yang terjadi pada saat bayi
dilahirkan dan tentang senjata-senjata yang tidak membahayakan siapa pun, maka
bayi itu dinamakannya “Ahimsaka”, artinya “tidak merugikan”. Selanjutnya ia
dirawat dengan baik, setelah menjadi dewasa ia disekolahkan di kota Takkasila.
Kota Takkasila yang terletak di
pinggir kota Bratavasa, merupakan tempat berkumpulnya para cerdik pandai dan
menjadi pusat pendidikan pada masa itu. Siapa pun yang ingin belajar untuk
memperoleh pengetahuan sesuai dengan yang diinginkan, baik raja-raja,
menteri-menteri, para pegawai, orang kaya maupun pedagang-pedagang dari negara
lain; walaupun tempatnya jauh, mereka akan mengirimkan putra-putranya untuk
belajar di kota ini.
Ada dua cara untuk memperoleh
pendidikan di kota ini, yaitu membayar sendiri dan tinggal bersama dengan guru.
Mereka yang tinggal bersama guru harus bekerja. Misalnya mengumpulkan kayu
bakar, menimba air, memasak dan sebagainya. Ahimsaka bersekolah dengan cara
tinggal bersama guru, yaitu bekerja untuk memdapatkan biaya sekolah.
Ahimsaka amat takut kepada
gurunya, ia rajin bekerja dan belajar; bersemangat melayani dan membantu
gurunya; berperilaku sopan, berbicara lemah lembut dan ramah. Ia dinilai
terbaik diantara murid-murid lainnya, sehingga ia amat disayangi oleh gurunya.
Melihat hal ini murid-murid lain menyadari bahwa sejak Ahimsaka berada di sini
mereka menjadi tersisihkan. Maka mereka berunding untuk memfitnah dan
menjatuhkannya.
Karena perasaan iri yang selalu
membakar hati, maka mereka bersama-sama memikirkan cara untuk menjatuhkan
Ahimsaka. Akhirnya mereka menemukan suatu cara yang keji dan mereka membagi
diri menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menghadap guru dan mengatakan
bahwa Ahimsaka bermaksud jahat kepada sang guru. Ketika mereka mengatakan hal
itu, sang guru menjadi marah kepada mereka sehingga mereka lari meninggalkan
kediaman guru.
Kelompok kedua menghadap guru
dengan maksud yang sama pula. Akan tetapi, sang guru masih belum percaya.
Kelompok ketiga datang dan mengatakan hal yang sama dengan menambah ceritanya
agar dipercaya, sambil berkata : “Bila guru tidak percaya, kita mengharap guru
mau merenungkannya. Nanti guru akan mengetahuinya sendiri.” Sang guru merasa
ragu-ragu dan berpendapat : “Mungkin mereka itu benar, karena telah beberapa
kelompok murid datang dan mengatakan hal yang sama, mungkin mereka tidak
bermaksud jahat.” Akhirnya, guru itu memutuskan untuk membunuh Ahimsaka.
Selanjutnya guru itu berpikir :
“Apabila aku sendiri yang membunuh Ahimsaka, maka orang-orang akan mengatakan,
karena marah murid yang belajar di tempatku agar menjadi pandai telah kubunuh,
akibatnya, dikemudian hari tentu tidak ada lagi orang yang mau menjadi muridku.
Keuntungan serta kehormatanku akan menjadi lenyap. Sebaiknya aku meminjam
tangan orang lain, yaitu menipunya dengan berkata : “Sebelum mendapatkan
pelajaran lebih lanjut, engkau harus membunuh 1000 (seribu) orang untuk
menambah pengetahuanmu.” Sebelum Ahimsaka dapat membunuh seribu orang, pasti
ada orang lain yang dapat melawan dan membunuhnya.”
Setelah guru itu berpikir
demikian, ia memanggil Ahimsaka dan menjelaskan hal itu kepadanya. Ahimsaka
menjawab : “Guru, keluargaku selalu menjalankan peraturan tidak melukai orang
lain, bagaimana aku sendiri dapat berbuat demikian?” Dengan tegas gurunya
menjawab : “Bila kau tidak mau melakukannya, bagaimana kau dapat menambah
pengetahuanmu dengan baik? Apabila perbuatanitu tidak dilaksanakan, maka
pengetahuanmu tidak dapat maju.”
Setelah mendengar perintah itu,
Ahimsaka yang amat patuh kepada gurunya membuat keputusan sebagai berikut : “Aku
harus pergi dan melaksanakan pekerjaan itu baik-baik.” Ia menyiapkan pakaian
dan lima macam senjata; senjata-senjata itu ada yang diikatkan di pinggang dan
ada yang dipegang. Kemudian ia memberi hormat pada gurunya dan pergi ke hutan.
Ia menunggu di jalan masuk ke hutan, di tengah-tengah hutan dan di jalan keluar
dari hutan; siapa pun yang dilihatnya terus dihitung jumlahnya, tetapi ia hanya
menghitung mereka dalam hati saja.
Ahimsaka adalah orang bijaksana
dan pandai. Sebenarnya ia memiliki daya ingat yang kuat; namun, setelah ia
banyak membunuh manusia daya ingatannya menjadi kabur sehingga ia lupa sama
sekali berapa jumlah orang yang telah dibunuhnya. Untuk mengingat kembali
berapa banyak orang yang telah dibunuhnya, terpaksa ia memotong jari-jari
tangan orang yang telah dibunuhnya itu. Jari-jari itu dikumpulkannya di suatu
tempat, tetapi jari-jari itu pun hilang. Akhirnya ia membuat untaian kalung
yang terdiri dari jari-jari agar dapat dibawa kemana-mana. Karena itu, ia
memperoleh nama baru ‘Angulimala’ artinya orang yang memakai untaian kalung
jari.
Sebagai tempat tinggalnya,
Angulimala berdiam dalam hutan. Ia selalu berpindah-pindah ke seluruh bagian
hutan itu. Akibatnya, para pencari kayu bakar menjadi takut, mereka tidak
berani masuk ke dalam hutan. Karena tidak melihat seorang pun yang masuk ke
dalam hutan, maka pada malam hari Angulimala keluar dari dalam hutan pergi ke
desa-desa. Ia mendatangi rumah-rumah penduduk, menendang pintunya sampai roboh,
memasuki rumah dan membunuh penghuninya yang sedang tidur; sedangkan penghuni
lainnya melarikan diri. Setelah dibunuh, orang itu pun jarinya dipotong dan
dibawanya pergi. Karena adanya kejadian ini penduduk desa mengungsi dari desa
ke desa lain yang lebih besar dan akhirnya sampai ke ibukota. Para penduduk
meninggalkan rumah, membawa sanak keluarga serta harta bendanya, dan mereka
tinggal di pinggiran kota Savatthi. Selanjutnya mereka pergi ke alun-alun untuk
menyampaikan penderitaan yang telah mereka alami pada sang raja.
Gagga Brahmana mendengar berita
tentang kejahatan Angulimala dan penderitaan yang dialami oleh penduduk. Ia
menyadari bahwa hal ini ada hubungannya dengan putranya. Ia memberitahu kepada
istrinya, Mantani Brahmani, bahwa ada seorang penjahat bernama Angulimala. Ia
bukan lain adalah Ahimsaka, putranya sendiri. Tentu saja raja akan
menangkapnya. “Apakah yang dapat kita lakukan?” Mantani Brahmana menjawab : “Ada
jalan keluar, yaitu, kamu pergi mencari Ahimsaka dan membawanya kemari untuk tinggal
bersama kita. Hal ini jangan sampai diketahui oleh orang lain karena nanti ia
akan ditangkap.” Gagga Brahmana menolak, karena putranya tidak dapat
mengenalnya lagi dan ia takut nanti akan dibunuh olehnya.
Secara naluri, seorang ibu tidak
rela apabila melihat anaknya menderita. Demikian pula halnya dengan Mantani
Brahmani, ibu Angulimala. Karena cinta kasih yang amat dalam, ia menyadari
bahwa satu-satunya orang yang harus menolong anaknya agar terhindar dari mara
bahaya adalah dirinya sendiri. Gagga Brahmana menolak untuk mencari Angulimala,
maka dengan berani Mantani Brahmani menyatakan bahwa bila Gagga Brahmana tidak
mau pergi, ia sendiri yang akan pergi dan walaupun usianya telah lanjut, ia
pergi untuk mencari anaknya ke berbagai tempat.
Pada waktu itu Angulimala berada
di dalam hutan; ia pergi mengunjungi satu desa ke lain desa yang lebih jauh,
yang masih berada dalam wilayah kerajaan Kosala. Badannya berotot kuat, hitam
dan dikotori dengan noda-noda darah manusia. Janggut dan kumisnya tumbuh tidak
terawat seperti penjahat yang hidup dalam hutan. Ia tidak lagi mempedulikan
keindahan, kebersihan, dan kesenangan-kesenangan lain. Hanya satu yang
diinginkannya yaitu membunuh manusia sebanyak seribu orang sesuai dengan
perintah gurunya. Sekarang ia harus mencari orang yang keseribu untuk dibunuhnya.
Pada waktu itu Sang Buddha sedang
berdiam di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, yang dibangun oelh seorang
hartawan yang bernama Anathapindika. Bersamaan dengan ibunya, Mantani Brahmani,
yang sedang pergi mencarinya, pada hari itu pula Angulimala sedang mencari
korban yang keseribu untuk dibunuhnya. Pada hari itu Sang Buddha sedang
bersamadhi dalam Gandhakuti untuk melihat makhluk-makhluk yang dapat ditolong.
Melalui mata batin, Beliau mengetahui bahwa penjahat Angulimala sedang mencari
korban yang keseribu untuk dibunuh dan diambil jarinya. Kemudian Sang Buddha berpikir
: “Apabila aku cepat-cepat menyusulnya, maka Angulimala akan selamat. Dalam
hutan itu ia akan mendengarkan ajaranku sehingga ia dapat menginsyafi perbuatan
yang salah dan perbuatan yang benar. Ia akan memohon untuk ditahbiskan sebagai
bhikkhu dan akan memperoleh enam kekuatan batin luar biasa Abhinna. Tetapi, bila aku tidak pergi ke sana, maka Angulimala akan
bertemu dengan ibunya yang sedang mencarinya. Oleh karena kesadaran yang telah
kabur akibat penderitaan yang dialaminya, tidur, makan, dan lama hidup dalam
hutan, maka ia tidak akan ingat ibunya lagi. Jika ia sampai membunuh ibunya,
tidak mungkin ia dapat mengendalikan dirinya lagi. Baiklah, aku akan menolong
Angulimala agar ia selamat.”
Dengan membawa mangkuk (patta) dan jubahnya, pada pagi hari itu Sang
Buddha pergi ke desa untuk menerima dana makanan (pindapatta). Setelah memperoleh cukup makanan, Beliau pulang dan
bersantap. Setelah itu Sang Buddha memberitahukan kepada para bhikkhu bahwa
Beliau akan pergi ke desa untuk menolong orang yang dapat ditolong. Dalam
perjalanan ini Beliau tidak membawa bhikkhu-bhikkhu lain. Beliau pergi seorang
diri melewati jalan yang sering dipergunakan oleh Angulimala untuk menjagal
korban-korbannya.
Di sepanjang jalan yang
dilaluinya, Sang Buddha bertemu dengan para petani, pengembala sapi dan
pengembala kambing yang wajahnya membayangkan ketakutan. Mereka cepat-cepat
menghampiri Beliau; ada yang dengan berbisik dan ada yang dengan nafas
terengah-engah berkata demikian : “O Samana, Bhikkhu Yang Mulia, janganlah
melanjutkan perjalanan-Mu, penjahat Angulimala berada di sana. Ia adalah orang
yang kejam, tangannya berlumuran darah, seorang pembunuh. Orang-orang yang
telah dibunuh terus di potong jari-jari tangannya untuk dibuat untaian kalung.
Siapa pun yang melewati jalan ini akan dibunuhnya. Kami harap Yang Mulia
melewati jalan lain saja.”
Sang Bhagava menyampaikan rasa
terima kasih-Nya kepada orang-orang yang telah berbuat baik itu, namun Beliau
tidak menolak atau menuruti kata-kata mereka. Beliau tetap melanjutkan
perjalanan-Nya dengan tenang. Di sepanjang jalan yang dilalui-Nya,
kadang-kadang beliau bertemu dengan para petani, penggembala sapi dan
penggembala kambing lain yang juga melarang Beliau untuk melanjutkan perjalanan-Nya.
Sekali pun berkali-kali Sang Buddha mendapat larangan dan petunjuk-petunjuk,
namun Beliau tetap tidak membatalkan perjalanan yang sedang ditempuh-Nya.
Dari kejauhan Angulimala dapat
melihat Sang Buddha sedang mendatangi ke arahnya. Ia terkejut dan merasa heran
sekali. Biasanya, walau pun berjumlah tiga puluh atau empat puluh orang pun
tidak berani lewat di jalan ini karena takut dibunuh. Tetapi, sekarang mengapa
sekali pun bhikkhu ini hanya seorang diri berani lewat di jalan ini? Apakah ia
datang untuk mengalahkan akau atau untuk membunuh diriku? Kalau begitu aku akan
membunuh-Nya lebih dahulu. Setelah berpikir demikian Angulimala menyiapkan
pedangnya sambil menunggu Sang Buddha mendekat dan melewatinya. Kemudian dengan
diam-diam ia mengikuti Beliau dari belakang.
Sang Buddha yang memiliki
kesaktian luar biasa, menciptakan sungai yang lebar dengan gelombang dahsyat
untuk menghalangi Angulimala. Angulimala dapat melihat Sang Buddha, Pelindung
Dunia (loka natha), hanya berjalan
dengan perlahan-lahan dan tenang. Ketika Angulimala yang bermaksud membunuh Sang
Buddha melihat ada sungai besar di hadapannya, dengan sekuat tenaga ia berusaha
berenang melawan gelombang yang tak putus-putus menghantam dirinya. Akhirnya ia
berhasi sampai di seberang walaupun badannya terasa lelah. Ia merangkak,
berdiri dan kembali mengejar Sang Buddha.
Selanjutnya Sang Buddha mengubah
jalan menjadi hutan lebat yang penuh dengan ponoh-pohon berduri, dang dengan
mudah Beliau berjalan memasuki hutan itu. Tetapi ketika Angulimala yang sedang
mengejar Sang Buddha tiba di tepi ‘hutan ciptaan’ melihat Beliau keluar dari
hutan ciptaan itu, maka Angulimala cepat menyusul Beliau melalui hutan itu
tanpa memikirkan kesukaran yang akan dihadapinya. Ia hanya bertujuan untuk
membunuh Sang Buddha saja.
Setelah berhasil keluar dari
hutan itu Angulimala dihadapkan lagi dengan sungat yang lebar, sehingga
terpaksa dengan susah payah ia berenang menyeberangi sungai itu. Sang Buddha menciptakan
rintangan-rintangan di daratan maupun di air sepanjang dua kilometer dengan
tujuan agar Angulimala menjadi tabah. Sejak melakukan pembunuhan sehingga hampir
seribu orang, Angulimala yang berhati keras itu tidak pernah mengalami
penderitaan seperti yang dialaminya pada hari ini. Sekarang ia mendapat
rintangan yang hebat, keringat dan air liurnya keluar sehingga bibirnya menjadi
kering, tenaganya habis dan ia amat lelah karena harus melintasi hutan dan
sungai yang lebar untuk mengejar Sang Buddha.
Angulimala berpendapat bahwa ia
tidak dapat menyusul Sang Buddha hanya dengan berjalan perlahar-lahan saja.
Kemudian ia berusaha berjalan cepat dan bahkan akhirnya berlari. Tetapi ia
tetap saja tidak dapat mengejar Sang Buddha yang hanya berjalan perlahan-lahan.
Ia merasa heran dan aneh. Sambil berlari ia berpikir : “Aneh, biasanya aku
dapat mengejar gajah, kuda atau pun kereta, tetapi bhikkhu yang hanya berjalan
perlahan-lahan ini tidak dapat kukejar walau pun aku telah berusaha berlari
secepat mungkin. Mengapa aku tidak dapat menyusulnya? Lebih baik kupangil ia
berhenti agar dapat kutanyakan mengapa hal ini terjadi. Dengan demikian aku
akan mengerti tentang hal itu.”
Setelah berpikir demikian
Angulimala berhenti berlari dan ia berteriak senyaring-nyaringnya : “Bhikkhu,
berhentilah! Bhikkhuk, berhentilah!” Terdengar jawaban : “Aku telah berhenti,
Angulimala. Dirimu sendiri yang belum berhenti. Berhentilah engkau.” Angulimala
berpikir : “Bhikkhu Sakyaputta ini adalah orang yang bertekad tidak akan
berbohong, tetapi mengapa ia berkata : ‘Aku telah berhenti, Angulimala. Dirimu
sendiri yang belum berhenti. Berhentilah engkau,’ sekali pun ia masih berjalan?
Kalau begitu aku akan menanyakan hal ini kepada-Nya.”
Maka ia bertanya : “Bhikkhu,
selagi berjalan Kau berkata, ‘Aku telah berhenti’ sedangkan dalam kenyataan Kau
masih tetap berjalan. Bila demikian, apa yang Kau maksud dengan ‘Aku telah
berhenti’ dan dirimu sendiri yang belum berhenti’ itu?” Sang Bhagava menjawab :
“O Angulimala, Aku telah berhenti merugikan makhluk-makhluk lain dan
senjata-senjata telah Ku buang untuk selama-lamanya. Tetapi kau sendiri belum
memikirkan makhluk-makhluk lain, bahkan merugikan dan membunuh mereka. Sebab
itulah Kukatakan bahwa ‘Aku telah berhenti’ dan ‘Dirimu sendiri yang belum
berhenti’.”
Setelah Sang Buddha berkata
demikian, Angulimala menjadi sadar terhadap apa yang telah ia lakukan.
Sebenarnya Angulimala adalah orang yang bijaksana serta mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk. Tetapi sekarang ia menjadi orang yang jahat dan kejam
karena pikirannya selalu diarahkan untuk membunuh. Untuk melaksanankan hal itu
ia keluar masuk hutan yang lebat, makan dan tidurnya tidak teratur, ia tidak
dapat menikmati kebahagiaan karena selalu menderita lahir dan batin, hidupnya
jauh dari Dhamma. Pada saat ini ia dapat mendengar kata-kata Sang Buddha yang
tepat mengena di hati sanubarinya. Seketika itu juga ia merasa damai dan
bahagia. Wajahnya menjadi cerah bagaikan orang yang baru saja istirahat setelah
melakukan perjalanan jauh dan selesai mandi di sebuah sungai yang jernih
airnya.
Pada waktu Angulimala berdiri, ia
merasa heran karena perasaannya menjadi ringan. Ia dapat menyelami dan mengerti
sepenuhnya akan kata-kata Sang Buddha yang singkat itu. Seketika itu juga
timbulah pengertian dan kesadaran terhadap Dhamma, tentang sebab akibat yang
dihasilkan oleh kejahatan dan kebenaran dan terlintaslah dalam pikirannya hal
seperti ini : “Mungkin bhikkhu ini adalah Samana Gotama, Pangeran Siddhatta,
Putra Mahamaya.” Setelah ia memperhatikan bentuk tubuh Sang Buddha yang halus
dan indah, melihat mata Beliau yang memancarkan cinta kasih dan welas asih,
Angulimala menjadi yakin bahwa sekarang ini Sang Buddha datang untuk menolong
dirinya.
Kemudian Angulimala melemparkan
senjata-senjatanya. Ia bersujud dihadapan Sang Buddha dan berkata : “Lama
sekali aku baru mendapatkan pertolongan dari Yang Mulia. Setelah mendengar
sabda Yang Mulia, maka mulai saat ini dan seterusnya aku akan menghindari
segala perbuatan jahatku.” Setelah itu Angulimala mendekati dan bersujud di
kaki Beliau, mohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Kemudian Sang Buddha memberikan
pentahbisan (upasampada) dengan
kata-kata : “Ehi Bhikkhu” “Marilah,
bhikkhu” kepada Angulimala, dan membawanya kembali ke vihara Jetavana di kota
Savatthi.
Bertepatan pada waktu Sang Buddha
membawa bhikkhu Angulimala ke kota Savatthi, di istana, Raja Pasenadi Kosala
sedang kesal hatinya memikirkan berita-berita tentang kekejaman dan kebuasan
Angulimala. Setelah raja mendapat laporan dari penduduk yang ditimpa kemalangan
akibat ulah Angulimala, maka beliau memutuskan untuk pergi sendiri menangkap
Angulimala. Sebab, pada zaman itu kepala negara harus bertempur sendiri bersama
dengan tentara-tentaranya di medan perang atau untuk menangkap penjahat yang
amat berbahaya.
Raja Pasenadi Kosala amat percaya
dan setia sekali pada Sang Bhagava, sehingga sebelum pergi menangkap penjahat
Angulimala, lebih dahulu ia pergi ke vihara Jetavana menghadap Sang Bhagava
dengan pikiran bahwa Sang Bhagava bukan hanya merupakan orang yang dapat
menolong untuk kepentingan masa yang akan datang saja, namun juga dapat memberikan
pertolongan pada masa sekarang ini. Raja berpikir : “Dalam kepergian kali ini,
bila aku selamat Sang Bhagava tentu akan berdiam diri, namun jika kepergianku
kali ini tidak selamat, Sang Bhagava tentu akan memberikan kata-kata nasehat
yang berharga.”
Ketika mendekati vihara Jetavana,
raja menghentikan keretanya di ujung jalan. Kemudian raja turun dari kereta
perang dan berjalan kaki menghadap Sang Bhagava. Setelah dekat, raja memberi
hormat pada Beliau dan mengambil tempat duduk yang sepantasnya. Demikian pula
dengan tentara-tentara yang mengikuti sang raja memberi hormat pada Sang
Bhagava.
Pada saat itu Sang Bhagava sedang
duduk di tengah-tengah umat. Ketika melihat sang raja telah melepaskan
senjata-senjata dari tubuhnya, memberi hormat dan duduk di tempat duduk yang
pantas, maka Sang Bhagava bertanya : “Baginda, apakah raja Seniya Bimbisara
dari Magadha; Pangeran Licchavi dari kota Vesali marah dengan Baginda, atau
raja-raja lain memusuhi Baginda?” Raja Pasenadi Kosala menjawab : “Bhante,
tidak ada seorang raja pun yang bermaksud jahat, namun dalam kerajaanku ada
seorang penjahat bernama Angulimala. Ia amat kejam, tangannya berlumuran darah,
suka membunuh, merugikan penduduk. Ia tidak memiliki cinta kasih atau belas
kasihan terhadap siapa pun. Ia mengakibatkan desa-desa menjadi mati, kota-kota
menjadi sunyi dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang; memotong
jari-jari tangannya untuk dijadikan untaian kalung. Kita bermaksud akan
menangkapnya.”
Sang Buddha berkata : “Baginda
raja, seandainya Baginda bertemu dengan Angulimala yang telah mencukur rambut
dan jenggotnya; mengenakan jubah
kuning, melepaskan hidup berumah tangga, menjadi bhikkhu yang menempuh hidup
tanpa rumah; menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian,
ucapan-ucapan yang tidak benar; makan sehari sekali; menjalankan kehidupan
suci; bersusila, sopan santun
dan sebagainya; bagaimanakah pandangan Baginda terhadap Angulimala itu?” Raja menjawab : “Bhante, jika benar
demikian halnya, maka aku akan menghormat beliau, menyambut beliau dengan baik,
mengundang dan memperlakukan beliau dengan baik, menyediakan empat kebutuhan
pokok (jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan) beliau serta melindungi
beliau dengan baik. Tetapi bagaimana seorang yang melanggar sila, berkelakuan
jahat seperti Angulimala itu dapat menjalankan sila?”
Kemudian Sang Bhagava mengangkat tangannya dan menunjuk kepada seorang
bhikkhu yang berbadan tegap yang sedang duduk tidak jauh sambil berkata :
“Baginda raja, itulah Angulimala.” Tentara-tentara yang mengikuti sang raja
yang sedang duduk berbaris, melihat ke arah yang ditunjukan tangan Sang Buddha.
Setelah menyadari bahwa bhikkhu itu adalah Angulimala, serentak mereka semuanya
berlari tanpa memperdulikan keselamatan raja. Mereka menyangka bahwa Angulimala
telah mengetahui maksud kedatangan mereka, dan mendahului datang ke vihara
untuk membunuh mereka. Mereka semua melarikan diri meninggalkan raja seorang
diri yang diliputi perasaan cemas dan khawatir.
Sang Bhagava mengetahui raja merasa cemas, lalu berkata : “Jangan takut,
Baginda; sekarang bahaya-bahaya yang ditimbulkan Angulimala telah tiada.”
Setelah mendengar kata-kata ini raja Pasenadi Kosala menjadi lega, rasa
takutnya hilang. Kemudian raja menghadap Angulimala dan berkata : “Apakah Yang
Mulia Angulimala?” Terdengar suara bhikkhu itu dengan jelas dan keras, namun
penuh kesopanan : “Baginda raja, saya Angulimala.”
Raja bertanya lebih lanjut : “Orang tua bhante berasal dari suku apa?”
Bhikkhu Angulimala menjawab : “Baginda, ayah saya berasal dari suku Gagga dan
ibu saya berasal dari Mantani.” Setelah mengetahui hal ini, raja bersedia
memberikan empat kebutuhan pokok kepada bhikkhu Angulimala. Oleh karena bhikkhu
Angulimala menjalankan tapa (dhutanga),
yaitu : tinggal di hutan, hanya makan makanan hasil pindapatta, mengenakan jubah kain pembungkus mayat (pamsukula) dan hanya memiliki
seperangkap jubah saja, maka bhikkhu Angulimala berkata : “Baginda, saya sudah
memiliki seperangkap jubah, janganlah mengkhawatirkan keadaan saya.”
Kemudian raja Pasenadi Kosala menghadap Sang Bhagava; setelah menghormat
dan mengambil tempat duduk yang sepantasnya, raja berkata : “Ajaib sekali, Yang
Mulia! Kejadian seperti ini belum pernah terjadi, tetapi sekarang benar-benar
telah terjadi. Yang Mulia telah membimbing seorang yang tidak dapat dibimbing
oleh orang lain; menaklukkan seorang yang tidak dapat ditenangkan oleh orang
lain. Bhikkhu Angulimala tidak dapat dibimbing dengan hukuman ataupun dengan
senjata.” Selanjutnya raja mohon diri kembali ke istana untuk menyelesaikan
urusan-urusan lain. Setelah Sang Buddha berkenan, raja Pasenadi Kosala
meninggalkan tempat duduknya dan memberi hormat dengan berjalan mengitari
Beliau tiga kali, kemudian meninggalkan vihara Jetavana.
Bhikkhu Angulimala tinggal di tempat yang kecil dalam vihara Jetavana. Cara
hidup baru ini berbeda dengan cara hidup lama. Dahulu dengan senjata ia
membunuh orang lain. Sekarang, setelah memperoleh bimbingan dari Sang Buddha,
ia melatih kerendahan hati walau diganggu oleh makhluk kecil sekali pun. Air
yang dipergunakan dan diminum diperikasa dan disaring lebih dahulu, demi
keselamatan binatang-binatang kecil yang hidup dalam air. Ia berhati-hati dalam
segala tindakan dan ucapan-ucapannya; bersikap sopan santun agar tidak
merugikan diri sendiri dan orang lain; melatih pikirannya untuk memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan kepada banyak orang.
Bhikkhu Angulimala bersikap sedang dalam hal makanan; puas dengan makanan yang diperoleh dari hasil
pindapata. Walaupun kadang-kadang hanya memperoleh sedikit makanan atau
bahkan tidak memperoleh hasil sama sekali, namun ia tetap sabar dan tidak
gelisah. Diceritakan bahwa pada suatu hari bhikkhu Angulimala pergi ke kota
Savatthi untuk pindapatta. Di tengah
jalan beliau melihat seorang wanita yang sedang mengandung tua, hampir
melahirkan anaknya; yang dengan gembira memberikan makanan kepada para bhikkhu.
Setelah Angulimala mendekat, wanita itu mengenali bahwa bhikkhu itu adalah
Angulimala. Ia merasa terkejut dan takut sehingga ia lupa pada keadaan dirinya.
Ia berlari, tetapi malang, ia terbentur pagar dan jatuh.
Bhikkhu Angulimala merasa kasihan
pada wanita itu. Namun beliau tidak melihat cara lain untuk dapat menolong
wanita itu, selain bertekad dengan sungguh-sungguh, dan dengan suara yang keras
agar terdengar oleh wanita itu, beliau berkata : “Saudari, semenjak aku menjalankan kehidupan suci ini, aku tidak pernah
dengan sengaja membunuh makhluk hidup apa pun . berkat kebenaran (ucapan) ini,
semoga Anda beserta bayi dalam kandungan Anda menjadi selamat adanya.” Setelah
kata-kata yang mengandung kebenaran ini selesai diucapkan, wanita itu sadar
kembali dan dapat melahirkan anaknya dengan mudah. Ibu maupun bayinya selamat.
Selanjutnya bhikkhu Angulimala
menjauhkan diri dari bhikkhu-bhikkhu lainnya, hidup menyendiri berlatih Samadhi
dengan sungguh-sungguh. Tak berapa lama kemudian ia berhasil mencapai kesucian
tingkat arahat (tingkat kesucian sempurna). Setelah berhasil mencapai kesucian,
pada keesokan harinya, dengan mengenakan jubah secara rapi, ia membawa mangkuk
(patta) pergi ke kota Savatthi untuk pindapatta. Tiba-tiba segumpal tanah
liat, sebatang kayu, pasir yang bercampur kerikil dan batu-batuan yang
dilemparkan orang-orang untuk mengusir anjing tanpa sengaja mengenainya,
sehingga kepalanya bercucuran darah, mangkuknya pecah serta jubahnya menjadi
robek-robek. Walaupun demikian bhikkhu Angulimala tetap berjalan dengan tenang,
sabar terhadap perasaan sakit yang menyengat itu. Ia berjalan pulang menghadap Sang
Buddha dengan kepala bercucuran darah.
Sang Buddha, Maha Guru, Yang
Melihat, Yang Penuh Kasih Sayang terhadap semua makhluk melihat Angulimala
berjalan dari kejauhan, berkata kepada Yang Mulia Angulimala demikian : “Brahmana,
tahankanlah! Tahankanlah, Brahmana! Sekarang engkau merasakan akibat
perbuatan-perbuatanmu; yang seharusnya dapat menyebabkan dirimu sengsara dalam
alam neraka selama ratusan tahun bahkan selama ribuan tahun.” Akibat luka-luka
yang dideritanya, tak lama kemudian Angulimala meninggal dunia, mencapai
kebebasan sempurna (parinibbana).
Sumber : Kisah Angulimala
terjemahan Y.M T.C.K. Phra Vidhurdhammabhorn
Friday, August 31, 2012
A Miracle
Sally baru berumur delapan tahun
ketika dia mendengar mama dan papa berbicara tentang adik kecilnya, Georgi.
Georgi sakit keras dan mereka telah melakukan semua yang bisa mereka usahakan
untuk menyelamatkan hidupnya. Hanya sebuah operasi yang sangat mahal yang dapat
menolongnya sekarang… dan keluar menjadi masalah keuangan. Sally mendengar papa
berbisik mengatakan hal itu dalam keterputusasaan, “Hanya sebuah keajaiban yang
dapat menyelamatkannya sekarang.”
Sally pergi ke kamarnya dan
mengeluarkan celengan dari tempat persembunyiannya di dalam lemari. Dia
mengguncang semua isi celengan itu ke lantai dan menghitungnya dengan teliti.
Tiga kali. Jumlahnya pasti benar. Tidak mungkin salah. Koin-koin itu diikat
dalam sebuah saputangan tua, lalu dia menyelinap keluar dari apartemen dan
berjalan ke toko obat di sudut jalan. Dia menunggu dengan sabar agar apoteker
memperhatikannya. Namun, apoteker itu terlalu sibuk berbicara dengan orang lain
untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berjalan sambil
menyeretkan kakinya untuk menarik perhatian apoteker itu. Dia berdehem. Tidak berguna.
Akhirnya dia mengambil uang koin-koinnya dan melemparkannya ke meja kaca apoteker.
Berhasil! “Dan apa yang Anda inginkan?” apoteker itu bertanya dengan nada
ketus. “Saya sedang berbicara dengan adik saya.”
“Aku juga ingin berbicara dengan
Anda tentang adikku,” jawab Sally dengan nada yang sama ketusnya.
“Dia sedang sakit… dan aku ingin
membeli keajaiban.”
“Apa?”
“Papaku berkata hanya keajaiban
yang dapat menyelamatkannya sekarang… jadi berapa harga sebuah keajaiban?”
“Kami tidak menjual keajaiban di sini,
gadis kecil. Saya tidak bisa membantumu.”
“Dengar, aku punya uang untuk
membayarnya. Katakan padaku berapa harganya.”
Pria berpakaian rapi membungkuk
dan bertanya, “Keajaiban apa yang dibutuhkan adikmu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Sally. Air
mata mulai mengalir di pipinya. “Aku hanya tahu kalau dia sedang sakit keras
dan Mama berkata dia harus dioperasi. Tapi kami tidak mampu membayarnya… jadi aku
menggunakan uangku.”
“Berapa yang kamu punya?” tanya pria
itu.
“1 dollar 11 sen,” Sally menjawab
dengan bangga. “Dan itu adalah semua uang yang aku miliki di dunia.”
“Wah, kebetulan sekali,” pria itu
tersenyum. 1 dollar 11 sen… harga yang tepat untuk sebuah keajaiban. Dia mengambil
uang itu dan menggandeng tangan gadis kecil itu dan berkata, “Antar saya ke
rumahmu. Saya ingin melihat adikmu dan bertemu orang tuamu.”
Pria berpakaian rapi itu adalah
dr. Carlton Armstrong, ahli bedah terkenal yang menyembuhkan penyakit Georgi. Operasi
berjalan lancar tanpa biaya sepeser pun dan tak lama kemudian Georgi sudah bisa
pulang ke rumah dan menjalani hidup yang normal.
Mama dan Papa sangat senang
berbicara tentang peristiwa istimewa itu. “Operasi itu,” bisik Mama. “Itu
seperti sebuah keajaiban. Aku ingin tahu berapa harganya.”
Sally tersenyum. Dia tahu dengan
pasti berapa harga sebuah keajaiban… 1 dollar 11 sen… ditambah keyakinan seorang
gadis kecil.
Sumber : LKS Bahasa Inggris untuk
SMA/MA Kelas XI Semester 2 Mitra Pustaka
Terjemahan bebas oleh Krystella
Huda
Friday, August 17, 2012
Sabda Hyang Buddha Tentang Sutra Ullambana
Pada suatu ketika, Hyang Buddha tinggal di Shravasti, di hutan Jeta di
Taman Anathapindika. Di antara 10 siswa utama Hyang Buddha, terdapat Maha
Maudgalyayana yang baru memiliki 6 macam kekuatan batin (Sad Abhijna). Beliau
mengingat orang tuanya yang telah meninggal dunia dan berkeinginan membebaskan mereka
dari kesengsaraan sebagai balas-budi atas jasa-jasa orang tuanya. Oleh karena
itu, dengan menggunakan mata-batinnya, ia mengamati seluruh alam semesta dan
melihat ibunya terlahir di antara setan-setan kelaparan. Karena ibunya terlalu
lama tidak mendapatkan makanan dan minuman, maka hanya kulit yang membalut
tulang di tubuhnya, sungguh menyedihkan! Melihat hal ini, timbul rasa kasihan
dalam diri Maha Maudgalyayana. Beliau mengisi patranya dengan makanan dan
memberikannya kepada sang ibu. Sang ibu menerimanya. Ia menutupi nasi tersebut
dengan telapak tangan kirinya karena takut setan kelaparan lainnya merebut
makanannya dan dengan tangan kanan mengambil segenggam makanan. Tetapi betapa
malangnya, sebelum makanan masuk ke dalam mulutnya, makanan tersebut berubah
menjadi arang yang membara dan ia pun tidak dapat memakannya. Kemudian api
keluar dari mulutnya dan membakar tubuhnya hingga tewas. Melihat hal ini, Maha
Maudgalyayana berteriak sekeras-kerasnya dan dengan sedih meneteskan air mata. Ia
berpikir bahwa walaupun dirinya telah melatih diri dan telah mencapat tingkat
kesucian, tetapi ia tidak mampu menyelamatkan ibunya dari alam setan kelaparan.
Dengan keadaan ini, sebagai seorang anak ia merasa sedih dan tidak berdaya. Ia
bergegas kembali ke tempat Hyang Buddha berada untuk mencari jalan keluar dari
permasalahan ini.
Maudgalyayana
menceritakan apa yang terjadi pada ibunya kepada Hyang Buddha dan memohon Hyang
Buddha menunjukkan jalan agar dapat menolong ibunya. Setelah mendengarkannya, Hyang
Buddha berkata, “Karma buruk yang dimiliki oleh ibumu sangatlah berat dan telah
berakar dalam. Dengan kekuatan kamu sendiri tidak akan mampu mengakhiri semua
ini. Walaupun rasa baktimu mampu menggetarkan langit dan bumi, namun dewa bumi,
dewa langit, penganut ajaran lain, para brahmana bahkan Raja adikuasa dari
surga Catur Maharajika dan sebagainya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
membantu.”
Saat Maudgalyayana sangat terpukul hatinya dan
air matanya terus bercucuran tak henti-hentinya, Hyang Buddha bersabda, “Kekuatan
spiritual perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru yang mengagumkan sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan kebebasan dari penderitaan ini. Sekarang akan Aku
uraikan cara yang membawa keselamatan bagi semua dari penderitaan serta dapat
memberantas semua rintangan karma.” Hyang Buddha bersabda kepada Maudgalyayana,
“Bulan ke-7 hari ke-15 penanggalan lunar adalah Hari Pravarana Sangha atau
disebut juga Hari Kebahagiaan Para Buddha, hari berakhirnya masa vassa bagi
perkumpulan Sangha di sepuluh penjuru. Untuk kepentingan 7 generasi orang tua
di kehidupan yang lampau, dan juga ayah dan ibu di kehidupan sekarang yang
hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka engkau harus menyediakan dan
mempersembahkan nasi dan bermacam-macam sayur-mayur, dupa, minyak, pelita,
perlengkapan istirahat, dan semua barang terbaik untuk dipersembahkan kepada
perkumpulan Sangha dari sepuluh penjuru. Pada hari itu, seluruh anggota Sangha baik
yang sedang bermeditasi di gunung-gunung, yang telah mencapai tingkat kesucian
yang ke-4, yang sedang berjalan di bawah pohon-pohon, atau yang telah
memperoleh Sad Abhijna dan sedang menjalankan kewajiban mengajarkan Dharma
luhur kepada para Sravaka atau para Pratyeka Buddha di berbagai daerah,
Bodhisatva-Mahasatva yang berstatus Dasa-Bhumiya (Sepuluh Tingkat Bumi) dapat
menjelmakan dirinya sebagai Bhiksu, Bhiksuni, dan berbaur di dalam Perkumpulan
Sangha. Rombongan Arya tersebut datang ke tempat suci itu, bukan hanya berniat
mengambil sedekah makanan atau sesajian belaka, tetapi mereka akan
mempergunakan kewibawaan, kemampuan, dan kebajikan yang telah diperoleh dari
perilaku Sila suci mereka. Jasa-jasa agung itu mereka limpahkan kepada para
leluhur atau kedua orang tua dermawan baik yang masih hidup maupun yang telah
meninggal. Barang siapa yang mengadakan persembahan Sangha ini, maka kedua
orang tuanya yang masih hidup dan leluhurnya yang telah meninggal dari 7
generasi di masa silam, dan juga 6 jenis kerabat dekatnya akan terlepas dari 3
Alam Samsara. Pada saat mereka dibebaskan, secara spontanitas mereka akan
mendapatkan pakaian dan makanan. Jika orang tuanya masih hidup, mereka akan
mendapatkan umur panjang dan tubuh yang sehat. Para leluhur dari 7 generasi di
masa silam akan terlahir kembali di alam bahagia secara spontanitas, mereka
akan bisa dengan bebas memasuki sinar mandarawa surga dan hidup dengan penuh
kebahagiaan.”
Pada hari Pravarana Sangha dan upacara
Ullambana yang diadakan oleh Maha Maudgalyayana, Hyang Buddha mengumumkan dan
meminta para Bhiksu, Bhiksuni, dan para Sravaka Sangha yang berada di berbagai
daerah agar semua berkumpul, guna mengadakan ritual pembacaan mantra serta
pelimpahan jasa kepada orang tua para dermawan, baik yang masih hidup maupun
yang telah meninggal berserta 7 generasi leluhur di masa silam. Seusai meditasi
barulah mereka menerima dana dan makanan beserta sajian lain yang sebelumnya
diletakkan di altar Buddha di vihara atau pagoda atau dikelilingi pada Stupa
Buddha. Setelah perkumpulan Sangha selesai membaca doa, mereka baru menerima
dana tersebut.
Pada saat upacara Ullambana itu selesai, Maha
Maudgalyayana bersama para Bhiksu, Bhiksuni, para Bodhisatva-Mahasatva semua
merasa amat senang dan gembira. Mulai saat itu perasaan dukacita Maha
Maudgalyayana lenyap. Pada saat itu juga, ibu Maudgalyayana terbebas dari satu
kalpa penderitan di alam Setan-Kelaparan. Lalu Maha Maudgalyayana kembali
berkata kepada Hyang Buddha, “Sekarang ibu saya sudah terlepas dari alam setan kelaparan
karena diberkati oleh kekuatan jasa kebajikan dari Tri Ratna beserta kewibawaan
dan kebajikan Perkumpulan Sangha. Di masa yang akan datang, jika ada
murid-murid Hyang Buddha yang ingin menyelamatkan orang tua atau ayah-ibunya
dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam, dapatkah mereka
menggunakan cara yang sama dengan memberikan persembahan kepada Sangha seperti
pada upacara Ullambana ini?”
Hyang Buddha, menjawab,
“Sadhu! Sadhu! Sadhu! Saya sangat senang mendengar
pertanyaanmu. Sesungguhnya hal-hal yang demikian penting itu telah siap
Kuuraikan kepada para umat sekalian, akan tetapi perhatiaanmu telah
mendahului-Ku. Wahai orang-orang yang berbudi, apabila terdapat Bhiksu,
Bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat
jelata berhasrat ingin berbakti, membalas budi kepada orang tua yang telah
melahirkan mereka ataupun 7 generasi orang tua di masa silam, iba hati kepada
para makhluk sengsara, mereka boleh menyediakan berbagai macam makanan serta
sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu yang jatuh setiap tanggal 15 bulan 7
Lunar, mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada perkumpulan
Sangha yang datang dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda mereka yang masih hidup mendapat umur panjang
dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan orang tua mereka yang
telah meninggal beserta 7 generasi ayah-ibu dari masa yang lampau itu dapat
keluar dari alam Setan-Kelaparan atau alam Samsara lain, dan mereka dapat
dilahirkan di alam manusia atau di alam bahagia, hidup dengan penuh
kebahagiaan.” Hyang Buddha kembali bersabda, “Barang siapa yang ingin berbakti
kepada leluhurnya serta kedua orang tua yang masih hidup atau pun yang sudah
meninggal dunia, mereka seyogyanya senantiasa mengingat kedua orang tua yang
masih hidup atau yang sudah meninggal itu. Setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Lunar
mengadakan upacara Ullambana, memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha,
melimpahkan jasa kepada orang tua mereka di kehidupan sekarang dan 7 generasi orang
tua di masa silam, guna membalas budi mereka, yang telah berjasa pernah
melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Demikianlah, semoga semua murid-murid
Hyang Buddha dapat menghayati Dharma yang sangat berarti ini.” Pada saat itu,
Bhiksu Maudgalyayana beserta keempat kelompok murid-murid Buddha merasa
bergembira setelah mendengarkan khotbah Hyang Buddha. Mereka bertekad untuk
mempraktikkannya.
Saturday, August 11, 2012
Hikmah Cek John D. Rockfeller
Seorang pebisnis yang usahanya
terancam bangkrut terlilit utang dan merasa berada di jalan buntu. Para
kreditor terus mengejar. Suplayer menagih utang. Pikirannya kalut dan dia duduk
di kursi taman, kedua tangannya memegang kepalanya, dan bertanya-tanya,
bagaimana caranya menyelamatkan perusahaannya.
Tiba-tiba seorang kakek
mendekatinya dan berkata, “Saya rasa Anda sedang punya masalah.”
Kakek itu lalu duduk di sebelah
pebisnis dan mendengarkan dengan penuh perhatian keluh kesahnya.
“Rasanya saya bisa membantu
Anda,” kata kakek itu sesudah si pebisnis selesai bicara.
Ia lalu mengambil buku cek,
menanyakan nama pebisnis tersebut dan meletakkan cek ke tangan pebisnis sambil
berkata,
“Ambillah uang ini. Temui saya di
sini tepat setahun sesudah hari ini. Saat itu, Anda akan bisa membayar saya.”
Sesudah itu, kakek itu berdiri
dari kursi dan lenyap secepat dia
datang.
Pebisnis itu melihat cek di
tangannya yang bernilai 500.000 dolar, ditandatangani John D. Rockfeller, salah
satu orang terkaya di dunia pada saat itu.
Si pebisnis itu sadar, bisa
menghilangkan kecemasan keuangannya dalam sekejap. Tapi ia memutuskan tak akan
menguangkan cek tersebut dan disimpan di lemari besi. Tahu punya uang sebanyak
itu membernya kekuatan mencari jalan keluar menyelamatkan usahanya.
Optimisme pebisnis itu segera
bangkit kembali. Ia merundingkan pembayaran utang yang lebih baik dan
memperpanjang jangka waktu pembayaran. Dia berhasil melakukan beberapa
penjualan besar. Dalam beberapa bulan, utangnya berhasil dilunasi dan ia
kembali mendapatkan keuntungan.
Tepat setahun kemudian, pebisnis
itu kembali ke taman dengan cek yang belum diuangkan. Kakek itu muncul pada jam
yang dijanjikan setahun lalu. Ketika akan mengembalikan cek dan menceritakan
kisah suksesnya, seorang perawat lari menghampiri mereka dan dengan segera
menggandeng tangan kakek tersebut.
“Saya sangat senang bisa
menangkapnya,” katanya. “Saya harap dia tidak mengganggu Anda. Dia selalu lari
dari rumah perawatan dan bilang kepada orang-orang, dia John D. Rockfeller,”
tambahnya.
Selesai bicara, perawat itu
menggandeng tangan kakek tersebut untuk diajak pulang.
Pebisnis itu terkesima, terpaku
diam membisu sambil memegang cek di tangan. Sepanajng tahun dia melakukan
perundingan rumit, membeli dan menjual, yakin dia punya setengah juta dolar di
tangan. Ia mendadak sadar, riil atau pun khayalan, bukan uang itu yang membuat
usahanya bangkit lagi. Tapi rasa percaya diri yang baru ditemukannya, yang
memberinya kekuatan untuk mengejar segala sesuatu yang diinginkannya.
Friday, July 27, 2012
Permata Berharga Si Burung Kecil
Taman tersebut dirawat seorang
tukang kebun yang serakah. Suatu hari, si tukang kebun membuat perangkap dan
berhasil menangkap burung tersebut. Burung kecil itu memohon dibebaskan dan
berjanji akan memberitahu tiga rahasia yang paling penting.
Karena sangat serakah, tukang
kebun pun segera melepaskan si burung kecil. Sesuai janji, burung kecil itu
lalu menyampaikan tiga rahasia tersebut.
Pertama, jangan pernah percaya
semua yang Anda dengar.
Kedua, jangan menyesali
kehilangan sesuatu yang tak pernah dimiliki.
Ketiga, jangan pernah melepaskan
sesuatu yang ada dalam genggaman karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain dan
belum pasti.
Sesudah mendengar ketiga saran
tersebut, si tukang kebun sangat marah. Dia sudah tahu rahasia tersebut sejak
kecil.
“Dasar curang. Tak bisa
dipercaya. Kamu menipu saya!” teriaknya berang.
“Jika kamu benar-benar tahu
ketiga rahasia ini, terutama rahasia ketiga, kamu pasti tak akan melepasakan
saya,” kata burung kecil tenang.
“Di dalam badan saya ada 3 ons
permata yang paling berharga. Siapa pun yang memiliki permata ini, apa pun
permintaannya akan dikabulkan,” lanjutnya.
Mendengar hal ini, si tukang
kebun makin meradang dan menyumpahi dirinya sendiri karena telah melepaskan
burung tersebut. Si burung dengan tenangnya menjelaskan, berat badannya kurang
dari setengah ons. Semua orang yang bisa melihat pasti tahu, mustahil ada 3 ons
permata tersembunyi di dalam badan sekecil itu.
Si tukang kebun makin marah, lalu
mengambil galah dan mengayunkannya ke burung kecil. Segera si burung kecil terbang
ke pohon tinggi dan kembali menambahkan,
“Kamu tak pernah memiliki permata
tersebut di tangan tapi menyesal karena kehilangan permata itu. Dan kamu
melepaskan saya karena percaya pada kata-kata saya.”
Sebelum terbang pergi, si burung
kecil berpesan kepada tukang kebun, untuk mencamkan baik-baik ketiga rahasia
ini dan menjadi orang yang bijaksana.
Thursday, July 19, 2012
Seni Berbicara
![]() |
Y.A Maha Bhiksu Dutavira Sthavira (Suhu Benny) |
Demikian pentingnya seni
berbicara, seorang guru besar yang bernama Yi Lin Fa Shi menceritakan kisah
seorang petani yang telah menolong seekor anak beruang yang tercebur di sebuah
selokan. Ibu beruang selalu mengingat budi petani itu. Karena itu, ketika desa
tempat tinggal petani mengalami kebanjiran dan petani mengungsi ke atas bukit,
bertemu kembali dengan keluarga beruang, mereka dengan senang hati memberikan
penginapan dan pelayanan yang baik untuk petani. Bahkan ibu beruang meminta maaf
apa bila ada pelayanan mereka yang tidak memuaskan. Petani mengatakan, bahwa
pelayanan mereka sangat baik tetapi ia tidak tahan dengan bau tubuh beruang
itu. Ibu beruang tidak marah, ia meminjam kapak petani dan memukul kepalanya
sendiri dengan kapak itu, kemudian mengembalikannya kepada petani. Selang beberapa
lama kemudian, saat mereka bertemu kembali dan petani bertegur sapa dengan
beruang itu, petani baru menyadari ternyata hati beruang itu terluka karena
perkataannya waktu itu.
Teman se-Dharma, dalam kehidupan
sehari-hari untuk mendapatkan simpatik, kita tidak hanya harus berbaik hati,
ringan tangan membantu orang lain, akan tetapi kita harus memperhatikan pula
cara berkomunikasi . Sungguh sayang, bila kita berbuat karma baik, akan tetapi
cara bicara kita menyakitkan orang, sehingga perbuatan baik kita diterima,
namuh orang tidak menghargai, bahkan membenci kita. Bila orang bersimpati
kepada kita, maka kita akan mudah mendapatkan dukungan, sehingga bertambahlah
jalan untuk sukses.
Orang yang berhati tidak baik
umumnya mudah mengobral janji dan berkata manis yang berlebihan. Jangan karena
serakah, kita terlena dan tidak melihat fakta, sehingga tertipu,
pandai-pandailah menyimak pembicaraan orang, apakah ia mempunyai maksud
tertentu? Demikianlah orang dapat tertipu karena ucapan yang manis, orang bisa
sakit hati karena kata-kata yang menyakitkan. Untuk itu ada 4 tips seni
berbicara :
Dalam menyampai maksud, bila
ekspresi lawan bicara tidak memperhatikan, maka jangan diteruskan.
Ketika menyampaikan maksud,
ciptakan kondisi yang menyenangkan.
Menyampaikan maksud kepada orang
lapangan atau orang yang sibuk, lebih baik to
the point/sesederhana mungkin.
Menyampaikan maksud kepada
pelajar harus mengunakan ilustrasi.
Sumber : Pencerahan Batin
oleh Y.A Maha Bhiksu Dutavira Sthavira (Suhu Benny).
Subscribe to:
Posts (Atom)
Popular Posts
-
Janganlah berbuat jahat Tanamlah sebanyak-banyaknya kebajikan Sucikan hati dan pikiran Itulah ajaran para Buddha Membunuh dan kar...
-
Pada suatu hari saat Sang Buddha berdiam di Anatapindika Jetavana Arama, pada waktu itu Ananda bertanya : Mengapa nasib /akibat Karma se...
-
Semasa hidup Sang Buddha, kota Savatthi merupakan ibukota kerajaan Kosala yang diperintah oleh Raja Pasenadi Kosala. Beliau, putra Maha ...
-
Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar mama dan papa berbicara tentang adik kecilnya, Georgi. Georgi sakit keras dan mereka...
-
Pada suatu hari di sebuah kota kecil di Taiwan, seorang supir taksi yang sedang dalam perjalanan pulang ketika dia mendengar suara menakutka...
-
FYI, trenggiling adalah binatang pemakan serangga, terutama semut dan rayap. Seorang pejabat Tiongkok beserta beberapa kolega, ketika...
-
Lanjut lagi jalan-jalan ke Belitung - Day 3 Dari hari pertama liatnya pantai dan laut, sekarang mari kita jelahahi pesona lain di Pulau B...
-
Sebuah Renungan Motivasi Sumber foto : http://wishesmessages.com/thank-you-messages-for-dad-thank-you-notes-for-father/ Pada detik-de...
-
Saya ingin berbagi cerita pendek yang menurut saya sungguh menyentil sanubari kita, terutama untuk orang Indonesia. Cerita ini saya dap...
-
Alkisah, di suatu daerah terpencil hiduplah seorang ibu & anak gadisnya yang tunggal. Ibu ini sangat bersyukur karena mempunyai an...