Pages

Friday, March 23, 2012

I Love You I Love You I Love You

Menurut sahibul hikayat, tersebutlah seorang pemuda bernama Jun yang berteman dengan tetangganya, Jae sejak kanak-kanak. Ketika tumbuh besar, Jae jatuh cinta kepada Jun dan mengungkapkan cintanya. Segera sesudah itu mereka pacaran, tapi keduanya mencinta dengan cara yang beda.
Jae memberikan seluruh perhatiannya kepda Jun, sementara perhatian Jun terpecah-pecah karena punya banyak teman perempuan. Bagi Jae, Jun adalah satu-satunya orang yang dikasihinya. Jae ragu, Jun bersikap sama.
Suatu hari, Jae mengajak Jun nonton. Jun menolak. Jae kecewa.
“Kamu tak mau nonton karena harus belajar?” tanya Jae.
“Bukan. Saya harus bertemu teman,” sahut Jun.
Jun selalu seperti itu. Bertemu teman-teman perempuan di depan Jae sampai Jae merasa, Jun mungkin menganggapnya sebagai teman biasa. Sejak kenal Jun, kata cinta tak pernah keluar dari mulut Jun. Sebaliknya, Jae selalu mengucapkannya. Mereka tak pernah punya hari peringatan. Jun tak pernah mengatakan apa pun sejak hari pertama mereka bertemu dan terus sampai 100 hari 200 hari dan seterusnya. Setiap hari, sebelum berpisah, Jun memberikan sebuah boneka. Tak satu pun hari terlewatkan tanpa Jun memberikan boneka. Jae menerimanya dengan hati bertanya-tanya.
Suatu hari, saat keduanya bertemu, Jae berkata, “Um, Jun, saya...”
“Teruskan saja. Katakan apa yang ingin kamu katakan,” kata Jun.
“Saya mencintaimu,” kata Jae.
Sesudah terdiam sejenak, Jun berkata, “Ambil boneka ini dan pulanglah.”
Seperti itulah perlakuan Jun terhadap Jae. Mengucapkan 3 atau 4 kata, memberikan boneka, lalu lenyap seakan melarikan diri. Setiap hari Jae menerima boneka Jun, sampai kamarnya penuh dengan boneka.
Ketika Jae ulang tahun, pagi-pagi ia membayangkan pesta dengan Jun dan menunggu telepon dari Jun. Penantian Jae ternyata sia-sia. Sampai malam Jun tak kunjung telepon. Jae tidur dengan rasa kecewa.
Sekitar jam 2 pagi , Jae terbangun karena dering telepon. Jun meminta Jae keluar dari rumahnya. Jae senang, segera berlari ke luar dengan hati berbunga-bunga.
“Jun, saya...”
“Ini, bawa masuk,” kata Jun sambil memberikan sebuah boneka kecil.
“Kemarin saya lupa meberikannya. Jadi saya berikan sekarang. Sudah, ya, saya pulang,” katanya.
“Tunggu dulu. Kamu tahu tidak kemarin hari apa?” tanya Jae.
“Kemarin? Huh?” sahut Jun.
Jae sedih. Ia mengira Jun ingat ulang tahunnya. Jun berbalik dan pergi seperti tidak terjadi apa-apa.
“Jun, tunggu dulu!” kata Jae.
“Ada yang ingin kamu katakan?” tanya Jun.
“Katakan, katakan kamu mencintai saya,” kata Jae.
“Apa?” tanya Jun.
“Katakan pada saya.”
Jun membisu sejenak, lalu berkata, “Saya tak ingin dengan mudahnya mengatakan mencintai seseorang. Jika kamu sangat ingin mendengar ucapan itu, cari orang lain saja,” kata Jun, lalu segera pergi.
Jae terpaku. Kakinya gemetar dan Jae jatuh. Dia tak ingin mengucapkan kata-kata itu dengan mudahnya.
“Bagaimana mungkin... saya merasa... Mungkin dia bukan pria yang tepat untuk saya,” kata Jae di dalam hati.
Jae segera ke kamarnya dan menangis terus.
Sejak hari itu, Jun tidak menelepon Jae, kendati pun Jae menunggu. Tapi Jun mampir ke rumah Jae setiap hari, memberikan boneka kecil.
Sebulan berlalu. Jae memberanikan diri menemui Jun. Jae melihat Jun di tepi jalan, bersama seorang perempuan. Jun tampak tersenyum ceria, senyum yang tak pernah ditunjukkan kepada Jae. Dengan rasa sedih dan marah, Jae pulang ke rumah. Begitu sampai di kamar, Jae menangis. Boneka di kamarnya membuat Jae berpikir, jangan-jangan Jun juga meberikan boneka kepada perempuan lainnya. Jae marah dan mengobrak abrik tumpukan boneka. Tiba-tiba telepon berdering. Jun minta Jae ke halte bis di dekat rumahnya.
Jae mencoba menenangkan diri. Lalu jalan ke halte. Jae terus menguatkan hatinya, memutuskan hubungan dan akan melupakan Jun. Jun berjalan mendekati jae sambil bawa boneka besar.
“Saya kira kamu marah. Tapi ternyata kamu datang,” kata Jun.
Jae makin marah. Bagaimana mungkin Jun bertindak seakan tak terjadi apa-apa, dan dengan tenangnya menyodorkan boneka seperti biasa.
“Saya tak perlu boneka!”
“Apa....? Mengapa?”
Jae merebut boneka itu dari tangan Jun dan melemparkannya ke jalan.
“Saya tak perlu boneka ini. Saya sama sekali tak perlu boneka ini lagi. Saya tak mau melihat orang seperti kamu lagi!” kata Jae.
Jun tampak kaget. Wajahnya berubah, tidak seperti biasanya.
“Saya minta maaf,” kata Jun, lalu pergi ke jalan untuk mengambil bonekannya.
“Dasar bodoh! Buat apa ambil boneka itu lagi? Buang saja!” kata Jae.
Jun tidak peduli dan terus menuju ke tengah jalan untuk ambil bonekanya.
Di saat itu, sebuah mobil melaju cepat. Klakson berbunyi keras.
“Jun, ke pinggir! Cepat ke pinggir!” teriak Jae.
Napas Jae seakan berhenti ketika mobil tersebut menabrak Jun yang sedang memungut boneka.
Jun sempat dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Jae sedih dan menyesal.
“Seperti inilah dia pergi dari saya. Dia pergi tanpa membuka mata untuk mengucapkan sepatah kata pun kepada saya,” kata Jae dalam hati sambil menatap wajah Jun dan meratap.
Kesedihan Jae tak kunjung habis. Penyesalannya tak kunjung padam. Kalau saja dia tidak melempar boneka itu ke jalan, Jun pasti masih hidup. Jae ingat Jun terus dan sedih terus. Sampai suatu hari, Jae merasa harus mengakhiri semua ini. Bagaimana pun, hidup terus berjalan. Ia lalu mengumpulkan boneka peninggalan Jun sambil menghitungnya. Jumlahnya 485. Air mata Jae bercucuran. Lalu mendekap erat sebuah boneka. Dan tiba-tiba terdengar....I love you...I love you...
Jae kaget. Lalu mengambil boneka lainnya dan menekan perut boneka. Kembali terdengar I love you - I love you. Jae menekan semua boneka. Semuanya menyerukan I love you. Kata-kata itu muncul terus tanpa henti. Jae menekan boneka terakhir yang terkena noda darah Jun ketika ditabrak mobil, menekan perut boneka tersebut dan terdengar rekaman kata-kata.
“Jae, kamu tahu hari ini hari apa? Kita sudah saling mencinta selama 485 hari. Saya tak bisa mengucapkan I love you. Saya merasa sangat malu untuk mengucapkannya. Ambil boneka ini dan maafkan saya. Dan saya akan mengatakan I love you setiap hari, sampai saya mati. Jae, I love you.”
Air mata Jae tak terbendung. Ia menyesal, tidak menangkap semua ini semasa Jun masih hidup. Di balik rasa sedih, Jae merasa bahagia, Jun mencintainya sampai detik terakhir hidupnya.
Cinta Jun membuat Jae berani untuk jalan terus dalam hidup ini. Kepergian Jun yang begitu cepat dan mendadak menyadarkan Jae, lebih baik melepas ego untuk seseorang yang dicintai, daripada kehilangan orang yang dicintai demi ego yang sia-sia.

1 comment:

please leave your comment...^^

Popular Posts